Mugi, nirmeke.com — Masyarakat Distrik Mugi dan Distrik Yogosem, Kabupaten Yahukimo, menyatakan penolakan terhadap keberadaan pos TNI Non Organik di Kampung Ugem. Penolakan itu disampaikan melalui musyawarah terbuka yang digelar pada Senin (1/9/2025) bersama Tim Peduli Daerah Siep Asso.
Musyawarah yang berlangsung di Kampung Ugem dihadiri Kepala Distrik Mugi, Welinton Siep, S.Pd., 20 kepala kampung dari Distrik Mugi, tujuh kepala kampung dari Distrik Yogosem, tokoh gereja dari lima denominasi (GKI, GKIP, GKII, Katolik, dan GPDI), mahasiswa, intelektual, serta tokoh perempuan. Dalam forum tersebut, masyarakat secara bulat menyatakan keberatan atas kehadiran militer di wilayah adat mereka.
Awal Kehadiran TNI
Kehadiran personel TNI Non Organik di Kampung Ugem bermula pada Sabtu (23/8/2025) saat sekelompok aparat melakukan survei. Dua hari kemudian, Senin (25/8/2025), sekitar 150 personel TNI dengan sembilan unit kendaraan Strada memasuki kampung dan langsung membangun pos tanpa pemberitahuan kepada masyarakat maupun pemerintah kampung dan distrik.

Sejak itu, warga setempat mengaku hidup dalam ketakutan. Padahal, Distrik Mugi selama ini dikenal aman dan damai tanpa pos militer. Aktivitas sehari-hari seperti berburu, berkebun, hingga akses pendidikan mulai terganggu karena adanya pengawasan ketat aparat.
“Dalam waktu kurang dari satu minggu saja, sudah ada anak sekolah yang diinterogasi, pohon warga ditebang tanpa izin, hingga pemuda yang mau akses jaringan internet dihadang aparat bersenjata,” ungkap perwakilan masyarakat dalam musyawarah tersebut.
Alasan Penolakan
Dalam pertemuan adat itu, masyarakat menyampaikan tiga alasan utama penolakan pos TNI Non Organik:
- Wilayah adat Siep Asso sejak dahulu aman dan damai tanpa penjagaan militer.
- Kehadiran TNI Non Organik dalam waktu singkat sudah menimbulkan keresahan warga.
- Berdasarkan pengalaman di banyak daerah Papua, pos militer kerap menimbulkan persoalan yang merugikan masyarakat sipil.
Kekhawatiran warga semakin besar mengingat mayoritas (lebih dari 80%) tidak memiliki KTP karena tinggal di pedalaman. Gaya hidup sehari-hari seperti berburu dengan panah dan busur, atau penampilan pemuda dengan rambut panjang dan kumis tebal, berpotensi menimbulkan kecurigaan aparat. Mereka takut hal serupa dengan kasus-kasus kekerasan di Papua kembali terulang, termasuk insiden penembakan almarhum Tobias Sikak di depan Pos Damai Cartenz, Kota Dekai, Yahukimo.
Tanggapan Aparat
Aspirasi masyarakat langsung diserahkan kepada Komandan Pos TNI, Letnan Infanteri Edi Saputra. Ia menyatakan menerima penolakan itu, namun belum dapat memberikan jawaban pasti.

“Kami di sini karena tugas negara. Aspirasi masyarakat ini akan kami sampaikan kepada atasan, karena keputusan bukan ada pada kami,” katanya di hadapan warga.
Kesepakatan Adat
Penolakan tersebut sekaligus menegaskan keputusan musyawarah adat Siep Asso pada awal 2025, yang menyepakati wilayah Herawe, Hetang, dan Jitugup sebagai daerah aman dan tidak memerlukan kehadiran pos militer, baik organik maupun non organik.

Dengan demikian, masyarakat wilayah adat Siep Asso yang mencakup Distrik Mugi dan Yogosem menolak keberadaan pos TNI Non Organik di Kampung Ugem maupun di seluruh wilayah adat mereka.
Hasil penolakan dituangkan dalam pernyataan resmi yang ditandatangani oleh Zhelsius Henius Asso, S.H., perwakilan Tim Peduli Daerah Siep Asso sekaligus pemerhati HAM Papua Pegunungan. Pernyataan ini disaksikan Kepala Distrik, mahasiswa, tokoh gereja, tokoh adat, dan tokoh perempuan.
“Wilayah adat Siep Asso sudah aman. Tidak perlu ada pos militer. Kami minta TNI ditarik dari Kampung Ugem,” tegas Zhelsius.(*)
Pewarta: Aguz Pabika