Jayapura, nirmeke.com — Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Papua mendesak Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA), Mahkamah Agung (MA), dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sorong bertanggung jawab atas kericuhan yang terjadi di Sorong pasca pemindahan empat tahanan politik Papua ke Pengadilan Negeri Makassar.
Kericuhan dipicu oleh keputusan Kejari Sorong yang mengajukan pemindahan sidang ke Makassar melalui surat permohonan resmi Nomor B-3001/R.2.11/Eoh.2/08/2025 tertanggal 22 Agustus 2025. Masyarakat dan keluarga tahanan menolak langkah ini karena dinilai melanggar Pasal 85 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang hanya memperbolehkan pemindahan sidang jika daerah terdampak bencana atau tidak aman.
Sejak 11 Agustus 2025, masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Pro Demokrasi Sorong Raya telah melakukan aksi protes di Kantor Kejari Sorong, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, dan Pengadilan Negeri Sorong. Mereka menegaskan bahwa Kota Sorong dalam keadaan aman sehingga alasan pemindahan sidang tidak berdasar.
“Keputusan ini jelas melanggar ketentuan Pasal 85 KUHAP dan memicu ketidaknyamanan serta konflik antara aparat keamanan dan warga,” tegas pernyataan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Rabu (27/8/2025).
Koalisi menilai FORKOPIMDA tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses hukum di Kejari Sorong. Intervensi inilah yang dianggap melahirkan maladministrasi dan memicu bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat, termasuk penggunaan senjata api dan penangkapan warga yang memprotes pemindahan sidang.
Bahkan, aparat dilaporkan melakukan pembongkaran rumah warga dan mengejar anggota Solidaritas Pro Demokrasi Sorong Raya, tindakan yang dinilai melanggar HAM serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Koalisi mendesak sejumlah langkah segera, di antaranya:
- FORKOPIMDA dan MA bertanggung jawab atas kericuhan pasca pemindahan tahanan politik.
- Presiden memerintahkan MA mencabut kebijakan pemindahan sidang ke Makassar.
- Kepala Kejaksaan Agung memecat Kepala Kejari Sorong.
- Kapolri menghentikan tindakan represif aparat di Sorong dan mengusut penyalahgunaan senjata api.
- Gubernur Papua Barat Daya dan Wali Kota Sorong memenuhi kewajiban perlindungan HAM sesuai UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
- Membebaskan seluruh masyarakat sipil yang ditangkap karena memperjuangkan penegakan hukum dalam kasus ini.
“Negara harus hadir untuk menghentikan kekerasan, mengembalikan proses hukum sesuai aturan, dan menjamin hak-hak masyarakat sipil,” tegas Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua yang terdiri dari LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, SKP KC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan, Elsham Papua, Yadupa, YLBHI, LBH Papua Merauke, LBH Papua Pos Sorong, dan KontraS Papua. (*)