Di sebuah kampung kecil di lembah yang selalu diselimuti kabut pagi, hiduplah sepasang suami istri yang telah menua bersama tanah, kebun, dan rimba. Mereka menanam singkong, keladi, dan jagung. Menyimpan babi-babi di kandang kecil di belakang rumah. Semua itu hanya untuk satu mimpi: anak sulung mereka, Yonas, bisa pergi jauh, menuntut ilmu, lalu kembali sebagai orang terhormat.
Sejak kecil, Yonas adalah anak yang disanjung-sanjung di kampung. “Dia ini pintar sekali. Besok-besok bisa jadi guru, jadi dokter, atau kepala distrik,” kata para tetua tiap kali melihatnya pulang dari sekolah membawa rapor biru.
Maka ketika Yonas lulus SMA, sang Bapak menjual babi satu-satunya. Sang Mama memanggul karung keladi ke pasar tiap minggu. Semua uang dikumpulkan agar Yonas bisa kuliah di kota besar. Mereka percaya ilmu akan mengangkat derajat keluarga, juga kampung mereka.
“Pergilah, Nak,” ucap sang Mama di hari keberangkatan. “Kami akan berdoa setiap hari. Pulanglah nanti dengan ilmu dan ijazahmu.”
Yonas berangkat dengan senyum, meninggalkan kampung yang perlahan mengecil di balik kabut dan bukit.
Tahun-tahun pun berjalan. Setiap bulan, Yonas menelepon, kadang kirim pesan: minta uang kuliah, uang kos, uang seminar. Sang Mama dan Bapak selalu mengirim, meski harus makan ubi rebus setiap hari, meski kebun sudah kehabisan panen. Mereka percaya anaknya sedang berjuang di tengah kota yang asing.
Namun tak pernah ada kabar tentang wisuda. Tak pernah ada foto memakai toga. Natal demi Natal, Yonas tak pernah pulang. Saat sang Mama jatuh sakit, ia hanya mengirim pesan singkat: “Doakan cepat sembuh.”
Hati orang tua itu tetap bertahan pada satu keyakinan: mungkin anak mereka benar-benar sibuk belajar, demi masa depan yang gemilang.
Delapan tahun kemudian, Yonas pulang.
Ia datang bersama seorang perempuan berkulit pucat dan seorang anak kecil yang memanggilnya Papa. Tapi ia tak membawa ijazah. Tak ada cerita keberhasilan. Tak ada kebanggaan seperti yang diharapkan.
Ia pulang dengan kepala tertunduk.
Di depan tungku api yang sudah redup, sang Mama bertanya dengan suara bergetar, “Yonas… apa yang sebenarnya kau kejar di kota itu? Kami jual babi, kami jual kebun, kami puasa makan daging bertahun-tahun… untuk apa semua ini kalau kau pulang tanpa ijazah?”
Yonas diam. Hanya suara malam di kampung yang menjawab.
Barulah terungkap: semua uang itu habis untuk hidup di kota, menyewa kos, foya-foya, hingga akhirnya ia menanggung keluarga kecilnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar kuliah. Semua cerita tentang ujian, seminar, dan skripsi hanyalah kebohongan.
Sang Mama menatapnya lama, mata tuanya basah. “Kami tak marah karena kau menikah dengan orang luar, Nak. Kami marah karena kau membohongi doa dan pengorbanan kami.”
Sejak hari itu, kampung kecil itu tak pernah sama lagi. Sang Bapak menua lebih cepat, punggungnya makin bungkuk. Sang Mama jarang tersenyum. Mereka menatap setiap matahari terbenam dengan dada yang penuh luka.
Dari cerita Yonas, orang-orang kampung belajar satu hal:
Bahwa pergi jauh bukan hanya soal mimpi dan kota besar, tapi soal tanggung jawab, kejujuran, dan menghormati pengorbanan mereka yang menunggu di kampung—dengan hati penuh doa, dan piring yang sering kali hanya berisi ubi rebus. (*)