Karya: Stevano J Gewab Syufi
Pada suatu masa di tengah gemuruh Perang Dunia II, di Kepulauan Biak yang indah, hiduplah seorang gadis bernama Imelda Marita Sroyer. Imelda adalah putri seorang kepala suku yang terhormat di wilayah tersebut. Kecantikan dan kelembutannya membuat banyak pria terpikat, tetapi Imelda selalu mencari sesuatu yang lebih dalam hati dan jiwanya. Kehidupan tenangnya mulai berubah ketika pasukan Jepang tiba di pulau tersebut, mendirikan pangkalan militer dan menguasai wilayah.
Di antara pasukan itu, ada seorang prajurit muda bernama Hiroshi Mitsuda. Hiroshi berbeda dari prajurit lainnya; hatinya penuh dengan kerinduan akan kedamaian dan rasa ingin tahu yang besar tentang budaya dan orang-orang di pulau yang baru ini. Suatu hari, ketika Hiroshi sedang berpatroli di dekat hutan, ia melihat Imelda sedang mengumpulkan sayur sayuran. Terpesona oleh kecantikannya, Hiroshi mendekati Imelda dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menakutinya.
Imelda awalnya terkejut melihat prajurit asing mendekatinya, tetapi ada sesuatu dalam sorot mata Hiroshi yang membuatnya merasa tenang. Mereka berdiri dalam keheningan, tidak tahu bagaimana berkomunikasi satu sama lain. Akhirnya, Hiroshi mencoba menggunakan bahasa isyarat sederhana, menunjuk pada sayuran yang dipegang Imelda dan tersenyum. Imelda, melihat usahanya, tersenyum balik dan memberikan sayuran serta beberapa ubi-ubian yang di dapat Imelda pada hari itu kepadanya.
Sejak saat itu, pertemuan mereka menjadi semakin sering. Setiap sore, setelah tugas militer Hiroshi selesai, mereka bertemu di tempat yang sama. Mereka berbicara dalam bahasa isyarat, menciptakan kode dan simbol mereka sendiri untuk saling memahami. Hiroshi mengajarkan Imelda beberapa kata dalam bahasa Jepang, dan Imelda mengajarkan Hiroshi beberapa kata dalam bahasa Biak. Meski dengan keterbatasan bahasa, mereka mulai jatuh cinta satu sama lain, berbagi cerita, tawa, dan mimpi tentang masa depan yang damai.
Namun, cinta mereka bukan tanpa rintangan. Rekan-rekan prajurit Hiroshi mulai curiga dengan seringnya dia menghilang, dan penduduk desa pun mulai berbicara tentang hubungan yang tidak biasa antara Imelda dan prajurit Jepang itu. Pada suatu malam, ayah Imelda memanggilnya dan memperingatkan tentang bahaya berhubungan dengan musuh. Imelda, dengan air mata mengalir di wajahnya, mencoba menjelaskan bahwa Hiroshi bukanlah musuh, tetapi seseorang yang peduli padanya dengan tulus.
Situasi semakin memburuk ketika pertempuran antara pasukan Jepang dan Sekutu semakin intens. Kepulauan Biak menjadi medan pertempuran yang sengit. Hiroshi dan Imelda tahu bahwa waktu mereka bersama semakin singkat. Pada malam terakhir mereka bertemu, di bawah cahaya bulan yang redup, Hiroshi memberikan sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk bunga sakura kepada Imelda. Itu adalah simbol dari cintanya yang tulus dan abadi.
“Watashi wa anata o aishiteimasu,” kata Hiroshi pelan, berharap Imelda mengerti.
Imelda mengangguk, matanya berkaca-kaca, dan membalas dalam bahasa Biak, “Yaswar fafaya au ba,” yang berarti “saya sangat menyayangi kamu .”
Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum Hiroshi harus kembali ke markas. Tak lama setelah itu, pertempuran besar meletus. Pasukan Sekutu berhasil memukul mundur pasukan Jepang, tetapi dengan korban yang besar di kedua belah pihak. Hiroshi tewas dalam pertempuran tersebut, membawa serta kenangan indah bersama Imelda.
Imelda sangat terpukul oleh kepergian Hiroshi, tetapi dia tetap mengenang setiap momen yang mereka habiskan bersama. Kalung dengan liontin bunga sakura selalu ia kenakan, sebagai tanda cinta mereka yang tidak akan pernah pudar.
Sebuah cerita tentang cinta yang melampaui batas bahasa dan perbedaan, dan bagaimana dua jiwa yang berbeda bisa saling menemukan di tengah kekacauan perang. Meski mereka terpisah oleh maut, cinta mereka tetap abadi dalam hati Imelda, menjadi kenangan yang tak terlupakan sepanjang hidupnya.