Oleh : Aban Bunapa
Kakiku melangkah dengan kecepatan tinggi membelah hamparan di Bukit Bobaigo yang menguning selama kencan angin yawei. Kurasakan hembusan Agayugiyo membelai kepalaku yang tidak ditumbuhi rambut. Sorot mataku tetap fokus pada sesuatu yang kini semakin terbang menjauh di antara langit biru dan awan putih. Tiba-tiba saja badanku tumbang ke depan akibat sandal jepitku putus. Aku mendongak ke atas, dengan nafas yang masih terengah-engah aku berteriak “tunggu aku 4 (empat) tahun lagi!”
“Apakah sakit?” tanya Ibu suster mengobati lukaku.
“Tidak sakit sama sekali,” jawabku.
”Anak ibu sungguh kuat.” ujar Ibu sambil mengelus lembut kepalaku.
“Setelah ini, apakah Ibu akan menarik penumpang lagi?” tanyaku.
“Tentu, setelah ini segeralah mandi, Ibu akan pulang pukul 5 sore.”
Setelah itu, ibu berjalan menuju enarotali paniai kesayangannya yang berwarna merah tua. Di usianya yang sudah hampir menginjak kepala empat, ibu masih terlihat bugar dan semangat seperti orang muda. Ibu mengayuh pedalnya dan mulai menjauh hingga menghilang di antara pepohonan rindang yang menjulang tinggi di ujun bandara udara awetako enaa agapida
Langit mulai menampakkan cahaya semburat merah, burung-burung mulai menari bebas memutari awan, sungguh pemandangan yang begitu memanjakan mata. Suara sepeda motor mulai menghiasi sekitar kota Paniai dan perahu atau jongson semua ke arah menuju Agadide, mama-mama penjual ikan danau paniai terliha berbondong-bondong menuju ke rumah masing-masing tidak sabar untuk segera melepas penat. Tidak lama kemudian kulihat honda beat street ibu masuk ke halaman rumah, aku pun berlari menghampirinya.
”Ibu… “ teriakku.
“Apa kamu sudah menunggu lama?” tanya Ibu.
“Tidak, Yah. Apa itu yang Ibu bawa?”
“Lihatlah, Ibu membawa ubi kesukaan putri Enago senja”
”Wah … Terima kasih ibu..” Enago senja memeluk ibu..
“Lihatlah, Ibu membawa ubi petatas kesukaan putri Enago senja paniai
”Wah … Terima kasih ibu” Enago memeluk ibu sayang umaaaa.