Di sebuah desa yang kaya akan sumber daya alam, para pemilik lahan adat, yang dikenal dengan pemegang hak ulayat, hidup sederhana namun damai. Tanah adalah warisan leluhur, dijaga dengan penuh tanggung jawab karena di situlah keberlangsungan hidup mereka bergantung. Namun, kedamaian itu mulai terusik ketika para kapitalis dari kota datang membawa janji-janji manis.
Mereka tidak datang langsung menemui para pemilik lahan. Mereka tahu bahwa para pemegang hak ulayat memiliki ikatan kuat dengan tanah mereka, sehingga tidak mudah diperdaya dengan uang. Maka, mereka menghubungi borjuis lokal, yang memiliki akses dan pengaruh di desa. Para borjuis ini adalah orang-orang terpandang yang sering kali menjadi perantara antara masyarakat adat dan dunia luar. Di sinilah permainan kapitalis dimulai.
Para kapitalis itu menawarkan sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh borjuis lokal: kekayaan dan pengaruh lebih besar. Dengan licik, mereka membangun kesepakatan di bawah meja. Borjuis lokal dijanjikan komisi besar jika mereka bisa meyakinkan para pemilik lahan untuk menjual tanah mereka. Mula-mula, borjuis itu ragu. Namun, setelah dirayu dengan berbagai hadiah dan jamuan, mereka mulai tergoda.
“Ini hanya sebagian kecil tanah,” kata para borjuis kepada para pemilik hak ulayat. “Dengan uang ini, kalian bisa membangun fasilitas untuk desa, sekolah, puskesmas, dan memperbaiki jalan.”
Para pemilik lahan ragu. Mereka tahu bahwa tanah itu bukan hanya soal materi, melainkan tentang identitas dan keberlangsungan generasi. Namun, suara borjuis terus menggema. “Kalau kalian tidak menjualnya sekarang, orang luar akan datang dan mengambilnya dengan paksa. Kalian harus pintar, gunakan kesempatan ini untuk kesejahteraan kita bersama.”
Desa pun terpecah. Beberapa pemilik lahan mulai goyah. Tawaran uang yang jumlahnya tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya tampak begitu menggiurkan. Janji-janji pembangunan desa dan fasilitas yang lebih baik mengaburkan pandangan mereka tentang nilai sejati tanah tersebut.
Pada suatu malam, di rumah salah satu kepala adat, pertemuan rahasia berlangsung. Borjuis datang bersama beberapa orang perwakilan dari perusahaan kapitalis. Mereka membawa dokumen panjang yang siap ditandatangani.
“Ini untuk masa depan kalian,” kata salah satu borjuis, sambil menempatkan pulpen di tangan kepala adat. “Tandatangani, dan semua janji akan segera terwujud.”
Namun, ada satu orang tua bijak di desa yang tidak pernah tertarik pada kemewahan atau janji-janji manis. Dia diam selama pertemuan, hanya memperhatikan dengan mata tajam. Ketika kepala adat hampir menandatangani, orang tua itu berbicara, suaranya berat dan berwibawa.
“Apakah kalian tahu apa yang akan terjadi jika tanah ini dijual?” tanyanya pelan.
Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya.
“Tanah ini adalah darah dan kehidupan kita. Begitu kita menjualnya, kita kehilangan hak untuk menentukan nasib kita sendiri. Mereka akan membangun tambang atau pabrik di atas tanah ini. Mereka akan mengambil segalanya, dan kita akan ditinggalkan dengan polusi dan kemiskinan.”
Borjuis lokal mencoba menenangkan suasana. “Tapi, dengan uang ini, kita bisa membangun desa yang lebih baik. Lihatlah, ini kesempatan yang tak akan datang dua kali.”
Orang tua itu menatap tajam. “Kalian mungkin mendapatkan uang sekarang, tetapi anak cucu kita akan membayar harganya. Mereka tidak akan punya tempat tinggal, tidak punya tanah untuk ditanami, tidak punya sungai yang bersih untuk diminum. Apa gunanya kekayaan sesaat jika kita menghancurkan masa depan?”
Kepala adat, yang semula ragu, kini mulai mengerti. Dia meletakkan pulpennya dan berdiri. “Saya tidak akan menjual tanah ini. Kami tidak akan menyerahkan warisan leluhur kami demi uang.”
Para kapitalis dan borjuis lokal terkejut. Mereka mencoba meyakinkan lagi, tetapi kali ini kepala adat berdiri teguh. Satu per satu, para pemilik hak ulayat lainnya ikut berdiri. Mereka sadar, tanah lebih berharga dari apapun yang bisa dibeli dengan uang.
Kapitalis pergi dengan tangan hampa. Borjuis lokal, yang merasa malu, menghilang dari desa, kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Mereka telah berkhianat demi kekayaan, tetapi akhirnya tidak mendapat apa-apa.
Desa itu kembali tenang, dan tanah tetap milik para pemegang hak ulayat. Mereka tahu bahwa mempertahankan warisan leluhur adalah bentuk kekayaan sejati yang tak ternilai harganya.