Oleh: Anton Alua
Di bawah terik matahari yang membakar kulit, dua pemuda asal Papua, Yavet Himan dan Agus Wetipo, menjalani hari-hari mereka di pelataran parkir sebuah toko di kawasan Youtefa, Jayapura. Mereka bukan sekadar tukang parkir. Mereka adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih—Yavet di semester delapan, Agus di semester empat—yang tengah berjuang menapaki jalan menuju masa depan.
Pekerjaan ini bukan pilihan yang lahir dari kenyamanan. Awalnya, rasa malu dan gengsi kerap membayangi. Namun, kebutuhan hidup di asrama, biaya makan, dan uang kuliah membuat mereka mengesampingkan perasaan itu. Perlahan, rasa sungkan berganti menjadi tekad. Mereka berjanji pada diri sendiri: tidak akan menyerah sebelum mimpi mereka tercapai.
Setiap hari, Yavet dan Agus berdiri menyambut pelanggan yang datang. Dengan senyum ramah, mereka mengarahkan kendaraan, memastikan setiap mobil dan motor terparkir aman dan rapi. Upah yang mereka bawa pulang tidak besar—kadang hanya Rp10 ribu hingga Rp50 ribu per hari—namun cukup untuk makan, sedikit menabung, dan perlahan menutupi biaya kuliah.
Meski lelah kerap menyergap, mereka tak pernah mengeluh. Debu jalanan yang melekat di tubuh seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. “Kami bersyukur, apa pun hasilnya,” ujar salah satu dari mereka suatu sore.
Suatu hari, seorang dosen yang kerap berbelanja di toko tempat mereka bekerja berhenti sejenak. Ia menatap mereka, lalu tersenyum. Bagi sang dosen, di hadapannya bukanlah sekadar tukang parkir, melainkan mahasiswa yang tengah berjuang menggapai cita-cita. Motivasi, saran, dan dukungan pun mengalir dari bibirnya—membakar kembali semangat dua anak rantau itu.
Bagi Yavet dan Agus, menjadi tukang parkir hanyalah persinggahan. Mereka menyimpan mimpi besar, percaya bahwa kerja keras dan ketekunan akan menuntun mereka ke masa depan yang gemilang. Setiap langkah kecil yang mereka ambil hari ini adalah batu pijakan menuju kesuksesan yang mereka dambakan. (*)