*Oleh: Soleman Itlay
Satu hal yang membuat saya tidak bisa lupa dari kota ini, adalah perempuan Awyu asal Boven Digoel yang berteriak di kota Pala, Fakfak, Papua Barat. Ia teriak sama sopirnya Uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega Pr di tengah jalan yang identik dengan motto “satu tungku tiga batu.” Bukan marah. Bukan juga mengusirnya. Tapi ini agak lain.
Kok berani ya? Seorang perempuan yang tidak kenal sama sopirnya uskup Datus bisa meneriaki dari sampingnya. Saya, lihat om sopir tenang. Dia hanya tersenyum sambil tetap fokus mengendalikan setir kendaraan mobil yang ia bawah.
Rupanya ia paham isi di balik ekspresi dari mama Alvares ini. Alvares ini anak yang paling saya sayangi dan cintai. Karena sewaktu kami urus kegiatan sejarah, dia tidak merepotkan mamanya. Malah memilih diam dan santai, seolah mendukung penuh sama mamanya.
Seingat saya, itu tanggal 24 Mei 2024. Tepat setelah kami merayakan 129 tahun misi katolik di tanah Papua yang berpusat di pulau misi—Bonyom. Berawal dari kaka Freddy Warpopor yang mengajak kami makan siang bersama—makan papeda ala orang Mbaham Matta dii home stay kaka Warpopor yang saya lupa itu di lokasi mana.
Yang saya ingat, sopir jemput saya di Brongkendik, di rumah bapak daikon Didimus Temongmere. Lalu, sopir yang sama jemput Maria dan rombongan di penginapan milik Pemda. Saya lupa namanya apa, tetapi seingat saya masih di dekat kantor bupati Fakfak.
Dari sana kami naik melewati pertigaan yang berdekatan dengan pelabuhan. Lalu melewati [kalau tidak salah] pos Koramil, Polsek dan pemukiman warga. Katanya sebelah kiri, dari bawah ke atas adalah kompleks misi. Diatasnya lagi adalah paroki santo Yoseph Fakfak.
Cuaca kota pada saat itu hujan gerimis. Masih ada dingin-dinginnya. Alvares, sih buah hati Dedjan yang masih menemaninya sedang meminum susu dot di pangkuan mamanya di kursi depan. Kursi tengah ada dua kaka perempuan, yakni Maria Gondro Mahuze dari Merauke dan Rossa Muyasin dari Keerom.
Perempuan yang masa hidupnya berani menuntut uskup orang asli Papua itu, berteriak secara spontan. Dia teriak tepat di atas paroki santo Yoseph itu. Katanya sama sopirnya uskup Datus: “…oh Tuhan, tolong…. hati-hati om sopir. Sa Trammo mati disini.”
Apa yang sebenarnya membuat perempuan ini berteriak begitu kuat dalam mobil, lagi-lagi di hadapan sopirnya uskup yang dia tidak kenal sama sekali?
Rasanya memang lucu, apalagi melihat ekspresinya pada waktu itu. Tapi rupanya, memang dia takut mobil terbalik. Krasa takut itu muncul, lantas ia melihat jalan di kota ini kecil, sempit dan banyak tikungannya. Terjal dan tebing juga ikut membuatnya tidak duduk tenang dalam mobil. Sedikit-sedikit Mataya lihat samping kiri kanan. Seolah mau lompat dari atas mobil.
Setelah dipikir-pikir, saya maklum. Karena saya ingat dia dari Tanah Merah, Boven Digoel, selatan Papua. Disana daerahnya, secara umum datar saja. Jalannya lurus-lurus. Tidak ada bukit, pegunungan dan bebatuan terjal seperti di kota ini. Jadi, tidak heran kalau masuk keluar gang dan naik turun gunung di kota ini membuatnya gelisa dua kali lipat.
Keadaan umum
Apa yang kami lakukan ini tidak jauh dari pulau Bonyom. Istilah lain yang lebih tenar bagi penduduk lokal adalah pulau Bone. Sebuah pulau misi Katolik yang terletak di dekat kampung Bringkendik, Fakfak, Papua Barat. Dikatakan pulau misi, karena pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville membuka pos misi Katolik pertama di sini.
Ada banyak istilah dalam bahasa lokal. Namun, menurut bapak Hendrikus Temongmere, seorang penjaga sumur Le Cocq di pulau misi ini terdapat nama besar, yakni “Warhiranggah.” Tentu ada arti dan filosofi bagi penduduk lokal.
“..Oh, nama tempat itu ada berapa nama tapi…nama besarnya Warhranggah,” tulisnya melalui pesan di WhatsApp pada Senin, 4 Agustus 2025, pukul 07:44 WIT. Itu beliau menjawab pertanyaan saya: “…nama pulau Bonyom dalam bahasa setempat apa?”
Dari kampung Brongkendik ke pulau ini kurang lebih 2-3 kilometer. Sedangkan dari kota, sekotar taman Tiga Tungku Satu Batu dan pelabuhan Fakfak kurang lebih 5-10 kilometer. Dekat, hanya tikungan terlalu banyak. Juga jalan yang sempit dengan kepadatan penduduk yang lumayan besar, dapat memakan waktu 15 menit.
Mau masuk di pulau ini harus mengikuti jalan darat atau perahu. Jalan darat berarti, dari depan gereja stasi santo Yoseph Brongkendik turun ke pantai. Lalu mengikuti jembatan gantung, yang dibuat dari kayu. Sekaarang tidak layak lagi, karena hujan membuatnya rusak parah. Sedangkan orang yang menggunakan perahu, bisa masuk dari Bronk, Raduria, Sakartemen, Pasir Putih, Wayati dan lainnya.
Pulau ini dikelilingi oleh lautan. Namun, hutan bakau atau manggrov yang tumbuh di sepanjang Air Besar, Sakartemen dan Hambriankendik membuatnya terkesan menyatu dengan daratan. Bebatuan, rerumputan, pepohonan, lumpur dan pasir membuat pulau ini semakin indah, seturut namnya yang identik dengan bahasa Latin (Bone—Bonyum).
Selain itu, terdapat pohon sagu, kelapa, coklat, papaya dan sibu (ubi). Bila musim hujan tiba atau air pasang, muncul telaga kecil yang ditutupi pepohonan. Terdengar juga kicauan burung-burung dari hutan sepangkal. Batu-batu kerikil dan besar yang keras yang ada disini juga memberi warana sekaligus perlindungan bagi pulau misi ini.
Tempatnya rata. Indah sekali. Bagus pula. Karena bagian yang berhadapan dengan kampung Pasir Putih dan pulau panjang, terdapat pasir panjang yang bersih. Anak-anak mudah sering suka mandi disini. Namun, sangat hati-hati, karena apabila datang air pasang, dapat membahayakan nyawa orang. Kononnya, banyak peraahu terbalik di sini.
Kuburan Moyang
Bagian tengah sangatlah rata. Menurut bapak Didimus Temongmere, dan Benyamin Taswa—seorang Protestan yang tinggal di kampung Mnedopma, beberapa klan marga pernah tinggal disini. Sebagian pernah dikuburkan di pulau ini. Hingga saat ini, bekas kuburan dan tulang-tulangnya masih ada.
Waktu saya ke pulau misi, saya berkunjung ke lokasi yang diduga menguburkan orang. Saya didampingi oleh bapak Temongmere, Taswa, dan sejumlah tokoh gereja lainnya. Mereka cerita sambil menunjukkan tempat keluarga mereka pernah dikuburkannya.
Lokasi Pos Misi Pertama
Dalam pulau terdapat dua bukit besar. Di bawah bukit, tanahnya agak subur. Karena itu, penduduk lokal bercocok tanam di sini. Sebagian tanah di bawah kaki bukit cukup basah. Barangkali ada mata air tawar yang keluar dari dalam tanah. Wajar juga bila ada pohon sagu yang tumbuh di situ. Disitu terdapat sebuah sumur tua.
Sumur ini sisebut sebagai sumur Le Cocq. Menurut bapak Didimus, dibangun oleh pastor Le Cocq pada Mei 1895. Usianya kini telah mencapai 130 tahun. Beberapa orang percaya, bahwa air sumur ini dapat menyembuhkan orang sakit. Karena itu, sejumlah orang datang menimbah air disini agar gunakan sesuai keperluannya.
Sumur Le Cocq dibangun bersamaan dengan gereja, pastoran dan sekolah darurat di pulau Bonyom. Lokasi pastoran, gereja dan sekolah darurat tidak terlalu jauh. Bahkan tidak seperti yang diceritakan Haripranata dalam buku: “icktisar kronologis sedjarah Irian Barat Jilid I (hal.3)”. Menurutnya, pastoran pertama dibangun di Air Besar. Namun, setelah dipastikan, ternyata ada di pulau ini. Jaraknya dari Air Besar ke sini± 3-4 kilometer.
Disinilah Bruder Zinken SJ dan Bruder te Broekhorst SJ membantu pastor Le Cocq bangun pusat misi Katolik pertama. Selain pastoran, dibangun pula gereja dan sekolah darurat. Pada November 1895, menerima 10 murid pertama. Kemudian pastor Le Cocq percayakan kepada guru katekis Protestan asal Ambon, Christianus Pelletimu guna mengajar anak-anak di sini.
“…Pastor Le Cocq membuka sekolah dengan murid 10 anak, jang menerima peladjaran dari seorang guru Protestan dari Ambon, bernama Christianus Pelletimu (hal.3),” Haripranata.
Upaya Baru
Di atas puncak bukit yang berhadapan dengan jalan masuk itu, pada 22 Mei 2010/11, Duta Besar Vatikan, Mgr. Antonio Guido Filipazzi pernah meletakkan batu pertama untuk bangun patung Kristsus Raja. Namun, hingga saat ini program ini belum terwujud karena terkendala dengan biaya pembangunan patung raksasa tersebut.
Sejak 2024 lalu, tim Le Cocq Foundation mendorong wacana pendirian Gua Maria di pulau Bonyom. Gua ini rencana dibangun di dekat sumur Le Cocq. Sumur Le Cocq akan berada di dalam gua Maria. Patung Bunda Maria versi perempuan Mbaham Matta sudah dirakit oleh seorang umat di Surabaya dari batu asli. Saat ini berada di kota Fakfak.
Saat ini orang sedang mengumpulkan bahan bangunan. Batu-batu diangkat pakai spead boat dari Air Besar ke pulau Bonyom. Sebagian material telah dikumpulkan. Tinggal mendatangkan bahan dan alat serta tukang bangunan guna memulai pekerjaanya. Pastor TPW, Alex Fabianus Pr dan pastor Jhon Bunay Pr memainkan peran penting dalam membangun gua ini.
Pergumulan besar adalah pembangunan jalan, parkiran, jembatan, kapel, rumah singgah, home stay, aula, dan lain sebagainnya. Namun, semua rencana ini terstagnan dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki tim. Sejauh ini tim berusaha membuat master plan dan mendorong agar ke depan pulau misi ini menjadi situs wisata religi Katolik di Tanah Papua.
Para pendahulu pernah bernuat di pulau ini. Nubuat itu berhubungan dengan terang yang akan datang dan terbit dari pulau ini. Katanya: “pada suatu hari terang akan nampak dari pulau inid an akan menyinari di seluruh bumi (tanah Papua).”
)* Penulis adalah pemerhati sejarah perkembangan misi Katolik di Tanah Papua