Merauke, nirmeke.com – “Kami menuntut pendukung total Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat.”
Kalimat tegas ini menjadi inti dari deklarasi yang disampaikan oleh masyarakat adat dan berbagai organisasi masyarakat sipil dalam pertemuan “Konsolidasi Solidaritas Merauke” yang berlangsung pada 11-14 Maret 2025 di Kota Merauke, Papua Selatan.
Lebih dari 250 orang, terdiri dari masyarakat adat dan lokal yang terdampak PSN dari berbagai wilayah di Indonesia, serta perwakilan organisasi masyarakat sipil, berkumpul untuk menyuarakan tuntutan terhadap PSN.
Mereka berbagi kisah tentang “kejahatan negara-korporasi dan kekerasan aparat militer dan polisi” yang mereka alami.
Inti Deklarasi dan Tuntutan:
- Penghentian total PSN dan proyek-proyek yang merugikan rakyat.
- Pengembalian kekayaan rakyat yang dirampas.
- Pemulihan ruang hidup masyarakat yang rusak.
- Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan program PSN.
Franky Samperante, Koordinator Solidaritas Merauke, menyatakan, “Deklarasi ini adalah awal perjuangan kami untuk mewujudkan kehidupan dan ruang hidup yang layak bagi masyarakat adat.”
Ia menambahkan bahwa gerakan ini akan terus membesar dan mendesak “pelaku kejahatan negara dan korporasi” untuk bertanggung jawab.
Ketua Komnas HAM Atnike Sigiro mengungkapkan, lembaganya telah menerima 114 aduan terkait dugaan pelanggaran HAM dalam PSN selama periode 2020-2023.
“Kami telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa “rekomendasi Komnas HAM tidak selalu diikuti.”
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto Sipin, yang hadir dalam deklarasi tersebut, memilih untuk tidak berdebat.
“Saya akan membungkus apa yang disampaikan sebagai masukan kami, karena itu memang tanggung jawab kami untuk kami bawa ke Jakarta dan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dengan PSN,” katanya.
Masalah PSN
Laporan yang disampaikan, menyatakan bahwa PSN di nilai tidak ramah HAM dan memicu konflik agraria. Pelaksanaan PSN juga dianggap tidak melibatkan masyarakat secara memadai. Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa setidaknya 103 ribu perempuan kehilangan sumber penghidupan akibat perampasan tanah atas nama PSN.
Selain itu, PSN juga dituding merusak sumber air dan sumber pangan masyarakat adat.
“Mekanisme izin lingkungan dan AMDAL, yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian lingkungan hidup, tidak berjalan dengan baik,” demikian bunyi laporan tersebut. (*)