Oleh: Soleman Itlay
Tanggal 1 September 1950 menjadi momen bersejarah bagi pendidikan Katolik di Tanah Papua. Pada hari itulah Opleiding Dorps Onderwijschooll (ODO) atau Sekolah Pendidikan Guru Kampung pertama kali berdiri di Kampung Gewerpe, Fakfak, Papua Barat.

Sekolah ini dipelopori oleh para imam Fransiskan, dengan Pastor Nerius Louter OFM sebagai tokoh utama yang mewujudkan gagasan tersebut. Tujuannya jelas: memberantas buta aksara, membangun dasar pendidikan Katolik, dan menyiapkan tenaga guru lokal untuk mengajar anak-anak di kampung-kampung Papua.
“Buta aksara kala itu menjadi kutukan yang membuat orang Papua berjalan di tempat. ODO hadir untuk membongkar tembok ketidaktahuan itu,” demikian catatan para misionaris tentang pendirian sekolah ini.
Penutupan ODO Fakfak
Namun kejayaan ODO tidak bertahan lama. Situasi politik memanas setelah operasi militer Trikora pada 1961. Pemerintah mulai mengambil alih kendali pendidikan. Pada 1964, ODO di Gewerpe resmi ditutup.

Memasuki akhir 1969 menjelang Pepera, banyak misionaris mengalami intimidasi. Guru-guru katekis pun kehilangan peran. Tahun 1970–1980-an, sejumlah pastor bahkan dideportasi secara perlahan.
Sejak itu, guru-guru “Trikora” menggantikan peran misionaris di kampung-kampung. Di beberapa daerah Katolik, mereka sempat berhadapan dengan guru-guru ODO yang tersisa.
Perubahan dan Perpindahan ODO
Dalam perjalanannya, ODO mengalami berbagai perubahan. Dari ODO menjadi SGB (Sekolah Guru Bawah), kemudian diintegrasikan ke SGA (Sekolah Guru Atas), dan akhirnya menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

Pada 1971, sekolah ini dipindahkan ke Waena, Kota Jayapura, dan kini dikenal sebagai SMA YPPK Teruna Bhakti. Namun sekolah ini bersifat umum, sementara gereja kini fokus mendirikan Sekolah Tinggi Pastoral Katolik (STPK) untuk menyiapkan guru katekis, konselor, dan guru agama.
Harapan Menjelang 75 Tahun ODO
Tanggal 1 September 2025, ODO akan genap berusia 75 tahun. Sayangnya, kompleks ODO di Gewerpe kini hanya menyisakan bangunan tua: aula, asrama, dan rumah pembina yang sebagian masih berdiri.
“Bangunan-bangunan ini seharusnya dirawat sebagai bukti sejarah, bukan dibongkar begitu saja. Nilai sejarah pendidikan Katolik di Papua terlalu besar untuk dilupakan,” ujar seorang pemerhati pendidikan Katolik di Fakfak.
Harapan besar kini ditujukan kepada para Uskup Regio Papua dan pemuka pendidikan Katolik agar semangat pendidikan ODO bisa dihidupkan kembali.

“Api pendidikan Katolik di tanah ini jangan sampai padam. Roh Kudus kiranya menggerakkan hati para pemimpin gereja untuk menyegarkan kembali rahim pendidikan Katolik yang pernah berjaya,” tambahnya.(*)