Jayapura, nirmeke.com – Mahasiswa Lapago dikota sudi Yogyakarta menuntut Pemerintah Provinsi Papua Pengunugan segera menyelesaikan masalah pro dan kontra terkait lokasi pembangunan kantor Gubernur di Wamena.
Desakan tersebut lantaran sejak beberapa waktu yang lalu masyarakat kontra dari tiga aliansi wilayah adat Asso Lokobal, Welesi dan Wouma masih melakukan aksi penolakan masalah sengketa wilayah tempat pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pengunungan yang belum terselesasikan hingga saat ini.
Hal tersebut diutarakan Alex Hubi mahasiswa Jayawijaya dalam jumpa persnya di Yogyakarta, Jumat, (14/7/2023).
Meski ada aksi penolakan, Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan ingin memaksakan kehendak mengeluarkan stagman provokatif di media masa seakan semua masyarakat dari tiga aliansi wilayah adat Asso Lokobal, Welesi dan Wouma terima penempatan kantor Gubernur.
“Jangan hanya melibatkan beberapa oknum tidak bisa mengatasnamakan semua pemilik hak ulayat dari tiga aliansi ini, intinya proses awal pelepasan masih bermasalah sehingga Pemerintah harus buka ruang untuk dengar pendapat pihak pro dan kontra,” harapnya.
Dengan melihat hal ini perlu adanya perhatian yang serius dan respon yang serius dari Pemerintah Provinsi Pengunungan Papua, dan Delapan Bupati wilayah adat Lapago, DPRD, para Elit lokal dan tokoh Agama dapat melihat dinamika persoalan ini secara serius untuk mencari solusi bersama.
“Masalah lahan ini bisa menimbulkan konflik horizontal antara pro dan kontra, karena tempat atau sengketa yang menjadi permasalahan ini adalah lahan tempat berkebun, maka pemerintah Provinsi maupun Pusat harus mempertimbangkan itu,” bebernya.
Sebab lahan berkebun ini menjadi tempat berkebunnya dari beberapa kabupaten seperti Lani Jaya, Tolikara, Mambramo Tengah,Yalimo,Yahukimo, Nduga sampai bahakan beberapa suku di Mepago pun biasa berkebun disini.Selain masyarakat Wouma,Welesi dan Asolokobal sebagai pemilik hak waris.
Mahasiswa Lapago kota sudi Yogyakarta meminta aparat TNI dan Polri yang membackup pembongkaran lahan di Molama agar tidak mengintimidasi masyarakat adat sekitar area perkebunan. (*)