Jayapura, nirmeke.com — Penulis buku “Bahasa Daerah 46 Suku di Lembah Baliem Wamena Papua Pegunungan”, Witen Kolago, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan DPR Papua Pegunungan atas masuknya agenda perlindungan bahasa daerah dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2025.
Poin perlindungan bahasa daerah tercantum sebagai agenda ke-20 dalam daftar 21 rancangan peraturan daerah (raperda) yang dibahas dalam Rapat Paripurna DPR Papua Pegunungan pada Kamis, 24 Juli 2025, di Gedung Aitosa, Wamena.
“Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, saya mengucapkan terima kasih kepada Gubernur dan Wakil Gubernur, DPR Papua Pegunungan, Dinas Pariwisata, Biro Hukum, dan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang telah mendorong regulasi ini,” ujar Witen Kolago kepada wartawan Nirmeke.com saat ditemui di sebuah kafe di Jayapura, Jumat (25/7/2025).
Ia secara khusus menyampaikan penghargaan kepada Ketua DPR Papua Pegunungan dan Ketua Bagian Penetapan Raperda, Hengki Bayage, yang menurutnya berperan penting dalam mengangkat isu pelestarian bahasa daerah dari level peraturan gubernur ke tingkat perda.
Menurut Witen, langkah ini merupakan tonggak sejarah dalam pelestarian bahasa lokal serta pengakuan atas identitas budaya dan keragaman etnis di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ia menegaskan bahwa motivasi penulisan bukunya didorong oleh kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah.
“Saya menulis buku ini karena takut bahasa daerah kita hilang. Dari wilayah Lembah Baliem, saya telah mendokumentasikan 46 bahasa daerah. Sebanyak 18 di antaranya telah saya catat secara rinci, mulai dari alfabet, huruf vokal dan konsonan, hingga kosakata,” jelasnya.
Witen menyebut keterbatasan dana menjadi hambatan utama dalam pendokumentasian seluruh bahasa. Meski begitu, ia dan timnya telah melaporkan temuan awal mereka kepada Kementerian Hukum dan HAM.
“Kami sudah menyusun kamus, bahkan menerjemahkan alfabet matematika ke dalam bahasa lokal. Tapi selama ini belum ada dukungan anggaran, baik untuk riset maupun publikasi. Baru kali ini pemerintah provinsi memberi perhatian,” tambahnya.
Ia juga menyoroti ketiadaan kurikulum formal berbasis bahasa daerah di sekolah-sekolah di wilayah Pegunungan Papua, khususnya Jayawijaya, meskipun kabupaten ini sudah berdiri sejak lama.
“Selama ini belum ada kurikulum pendidikan yang berbasis bahasa daerah. Padahal ini penting untuk menjaga identitas. Upaya kami bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi 46 suku yang ada di daerah ini,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Witen mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan bahasa lokal.
“Kalau bahasa daerah hilang, maka identitas etnis dan budaya kita juga ikut hilang. Cukup sudah suku-suku di pesisir yang kehilangan bahasanya, jangan sampai terjadi juga di pegunungan,” pungkasnya.(*)
Pewarta: (CR/AW)