Jayapura, nirmeke.com— Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Sorabut, mewakili tujuh wilayah adat dan masyarakat adat Papua, menyampaikan apresiasi kepada Octovianus Mote yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Mote dinilai telah dengan berani menyuarakan penderitaan dan harapan bangsa Papua dalam Sidang Forum Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Isu Masyarakat Adat (UNPFII) di New York, Amerika Serikat, pada 25 April 2025.
“Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Tuan Octovianus Mote yang telah menjadi Speaker Papua Customary Council dalam forum internasional tersebut,” ujar Sorabut.
Dalam pernyataannya, Sorabut mengajak seluruh masyarakat adat Papua untuk bangkit, membela, melindungi, dan mempertahankan harkat dan martabatnya dari berbagai ancaman yang tengah mereka hadapi.
“Teruslah membela dan mempertahankan kekayaan alam Papua. Marilah kita setia dan konsisten dalam tugas serta peran kita masing-masing, bergerak bersama menyelamatkan alam dan manusia Papua dari ancaman kolonialisme, kapitalisme, dan militerisme,” katanya. Ia juga berharap Tuhan memberikan kekuatan kepada seluruh rakyat Papua.
Pada kesempatan yang sama, Octovianus Mote dalam pidatonya di forum PBB tersebut menyoroti kondisi kritis di Papua Barat. Ia menyebut rakyat West Papua tengah menghadapi ancaman genosida, ekosida, dan etnosida.
“Di Pasifik, kita memasuki tahun-tahun kritis dalam perjuangan kolektif melawan kekuatan kolonial yang terus merajalela di tanah kita. Di Papua Barat, di bawah logika kolonial yang sama, rakyat kami kini menghadapi genosida, etnosida, dan ekosida, yang didukung oleh riset akademis, laporan organisasi hak asasi manusia, piagam hak asasi manusia, serta pengakuan berbagai Pelapor Khusus PBB,” papar Mote.
Mote juga menyoroti akar kolonialisme di Papua Barat yang menurutnya dilandasi rasisme sistemik, sebagaimana diungkap dalam laporan Hak Asasi Manusia terbaru. Ia mengingatkan bahwa sejak 1 Mei 1963, saat Indonesia menguasai Papua, rasisme telah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Papua.
Selain itu, ia mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia yang menyerahkan sumber daya alam Papua kepada perusahaan nasional dan internasional, membagi wilayah Papua menjadi enam provinsi tanpa persetujuan rakyat, dan meningkatkan militerisasi di daerah berpenduduk sedikit, menyebabkan lebih dari 80.000 warga Papua mengungsi sejak 2018.
Mote meminta Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan prinsip “Responsibility to Protect” (R2P) guna melindungi warga sipil Papua Barat. Ia juga mendesak Forum Tetap PBB untuk memperbaharui studi tentang kolonialisme di Pasifik sesuai Agenda Dekolonisasi 2021–2030.
Lebih jauh, Mote menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dengan mengundang Pelapor Khusus PBB tentang hak-hak masyarakat adat serta pejabat terkait lainnya untuk melakukan kunjungan resmi dan menilai kondisi hak asasi manusia di Papua Barat.
“Memberikan akses tersebut tidak hanya akan memperkuat kredibilitas Indonesia di mata internasional, tetapi juga menjadi langkah penting menuju pembangunan kepercayaan, akuntabilitas, dan perdamaian di kawasan,” ujar Mote.
Di akhir pidatonya, Mote menyerukan dukungan masyarakat internasional untuk berdiri bersama rakyat Papua Barat dalam memperjuangkan kedaulatan mereka.
“Kedaulatan tidak diberikan begitu saja kepada bangsa Papua. Mari berdiri bersama kami,” tegasnya. (*)