Jayapura, nirmeke.com – Pernyataan Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC di media masa, yang mendukung perusahaan atas nama program strategis nasional sangat bertentangan dengan KHK, ASG, Ensiklik Laudato Si, dan kunjungangan Paus Fransiskus di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Yasman Yaleget ketua Presidium DPC Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jayapura St. Efrem dalam jumpa persnya di Jayapura, Jumat (4/10/2024) di sekretariat PMKRI Kamkey, Jayapura.
Menurut PMKRI, dukungan Uskup terhadap perusahan ini merusak wibawa gereja Katolik di Indonesia, khususnya di Tanah Papua. Masalahnya terletak pada tanah adat milik masyarakat adat dari klen Gebze, Mahuze, Moiwend dan lainnya di Kampung Wanam, distrik Ilyawab, dan kebun tebu di distirk tanah miring Merauke, Papua Selatan.
“Perusahaan yang dikendalikan Haji Isam, asal Kalimantan Selatan berambisi membuka lahan perkebunan tebu diatas lahan seluas 1,2 juta hektar,” ujarnya.
Yasman menjelaskan, mayoritas masyarakat tidak pernah menyerahkan tanah adat kepada perusahaan, melainkan diserahkan oleh sekelompok masyarakat yang dekat dengan elit politik lokal. Setelah diketahui bahwa mayoritas masyarakat tidak pernah menyerahkan tanah kepada perusahaan, maka menimbulkan protes susulan dari berbagai pihak.
Kemudian mengeluarkan pernyataan kontroversial di media masa, sebagaimana beredar dalam video berdurasi 3.37 menit dengan judul: “Cetak Sawah Untuk proyek kemanusian.”
Pernyataan uskup dalam video berdurasi 3.37 menit dengan judul: “Cetak Sawah Adalah Proyek kemanusiaan Untuk Memanusiakan Rakyat Papua”. Pernyataan ini bertentangan dengan KHK, ASG, Ensiklik Laudato Si, dan kunjungangan Paus Fransiskus di Indonesia.
Pertama, dalam kitab hukum kanonik (KHK) mengatakan: Menyebarkan Injil atau kabar gembira, Menggembalakan umat Tuhan, Misi Klerus. Tetapi Uskup bersikap dan bertindak di luar dari peraturan gereja yang ada ini.
Kedua, dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG) mengatakan “Menjadikan kegembiraan dan kecemasan umat adalah kegembiraan dan kecemasan Kristus, dan tentang pengelolaan ciptaan dan subsidiaritas kehidupan internal dari suatu komunitas, Dengan kata lain suka duka orang Papua juga harus menjadi suka duka gereja Katolik.” Dalam hal ini Uskup menjadikan sukacita dan kebahagian perusahaan menjadikan sebagai sukacita dan kebahagiaan, karena itu memberikan legitimasi di luar ASG.
Ketiga, dalam Ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus pada tahun 2015 lalu, mengajak semua pihak untuk menjadikan bumi sebagai rumah bersama, “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam. Tetapi dalam pernyataan sikap, Bapa Uskup hendak menjadikan tanah adat dan sumber mata pencaharian hidup masyarakat sebagai rumah perusahaan yang merusak lingkungan hidup dan pemanasan global.
Keempat, dalam kunjungan Apostolik di Indonesia, Paus mengajarkan tentang kesederhanaan dalam hidup berpastoral. Bahkan Uskup Mandagi sendiri mengajak umat untuk tidak rakus pada jabatan dan uang—tidak pecah belah karena masalah Pilkada serentak di Indonesia.
Tetapi kompromi Uskup dengan perusahaan dan penguasa terus berjalan dan hal itu menunjukkan kerakusan, keserakahan dan mentalitas elitisme seorang Uskup (amoralitas) diatas penderitaan masyarakat pribumi di Merauke. (*)
Pewarta: Grace Amelia