Oleh: Benyamin Lagowan
Apresiasi patut kita berikan stelah membaca selebaran di atas. Slebaran itu adalah upaya kawan-kawan Tabi Saireri, khususnya pemuda Tabi di Kabupaten Jayapura hari ini untuk memproteksi hak-hak kesulungan mereka dalam bidang politik pemerintahan dan pembnangunan di negerinya.
Semangat dan upaya yang meskipun dapat dikatakan terlambat dan mungkin sulit dan berat. Akan tetapi peluang untuk dijawab besar kemungkinannya berhasil juga terbuka mengingat masih kuatnya kuantitas dan posisi tawar OAP di wilayah lain Papua.
Membaca seruan Beberapa Pemuda Tabi itu saya sebenarnya merasa lucuh. Karena apa yang terjadi hari ini adalah buah daripada perjuangan kawan-kawan, tokoh-tokoh dan intelektual Tabi Saireri 2-4 tahun lalu. Tapi rupanya apa yang dulu mereka harapkan, janji yang barangkali diberikan tidak semanis mimpi sehingga sebagian para pemuda Tabi harus melakukan aksi-aksi dan diskusi semacam ini.
***
Kembali ke topik. Gagasan atau wacana kepala Daerah Harus atau Wajib OAP, bagi saya adalah bukan solusi. Bukan solusi mutlak. Sebab tidak ada jaminan ketika OAP jadi kepala daerah akan membawa ksejahteraan maximal bagi OAP itu sndiri.
Saya malah melihat ini dengan kacamata gelap begini. Wacana kepala daerah harus OAP itu untuk memenuhi dalil bahwa untuk membangun Papua harus OAPlah yang menjadi pemimpin karena mereka putera daerah yang paham semua tentang masyarakatnya.
Pertanyaan dan kenyataan hari ini sejak 2019, terdapat lima Kab/Kota OAP sudah minoritas. Belum periode ini pasca Pemilu 2024 dan disahkannya 4 DOB Provinsi. OAP makin sedikit karena terbagi dalam ruang lingkup Provinsi yang syarat demgrafinya harus lebih besar.
Untuk mencapai itu, akan ada transmigrasi terselubung gaya baru. Ada upaya mengurangi kepadatan penduduk yang berknsentrasi di Jawa ke empat DOB Papua. Sebagai contoh saja. Kita bisa amati, mulai dari pagi, siang dan malam kita saksikan makin padatnya arus lalulintas di Kota Jayapura ataupun Sorong. Tingginya permintaan rumah kos di Wamena akhir-akhir ini. Merupakan fenomena yang adalah tanda indikator penambahan penduduk.
Lantas kenapa saya katakan meminta posisi kepala daerah harus OAP adalah bukan solusi? Begini alasan saya:
- Secara demografi jumlah OAP akan kian merosot. Akan makin terdepresi bila tidak ada pembatasan penduduk secara ketat di 4 DOB dan 6 Provinsi.
- Secara kebijakan dan Program akan selalu bias Non OAP. Sebab semua program dan kebbijakan pembangunan selalu sifatnya mendahulukan kepentingan kelompok mayoritas.
- Secara politik, power electoral kelompok mayoritas memiliki posisi tawar tinggi maka sudah tentu berbagai program dan kebjakan akan lebih mengutamakan kepentingan kaum dominan.
- Tak mungkin kelompok minoritas yang kalah jumlah memimpin kaum mayoritas, maka posisi kepala daerah OAP di Papua hanya akan menjadi boneka formalitas. Kenyataannya para kepala daerah OAP hnya akan mjd sapi perah yang tiap saat akan ditarik moncongnya ke sana kemari oleh kaum mayoritas yang skaligus MRP pemegang kendali sistem di Republik.
Langkah teman-teman Tabi di Kota Jayapura sudah baik, hanya terlambat dan menyedihkan karena bisa dikata baru bangun dari tidur panjang. Sejak awal kawan-kawan gagal paham bahwa ketika OAP dipecah belah melalui DOB dan isu pemulangan OAP Gunung dimainkan sedemikian kencang maka para aktor pihak ketiga berhasil menciptakan gap sosial antar OAP.
Setelah DOB hari ini baru kita sadar bahwa ancaman tersingkirnya OAP di tiap DOB Papua adalah akibat dominasi Non OAP. Sampai disitu, mau menyesal? Tiada guna. Mau mundurkan waktu? Mustahil. Mau bunuh diri? Silahkan. OAP hari ini kita ada didalam perangkap simalakama Otsus. Ikut Otsus mati, tidak pun tetap mati.
Hemat saya, bila tidak ada pembatasan pnduduk masuk scr ketat dan tegas. Tanpa pelarangan transaksi jual beli tanah secara ketat dan tegas. Tanpa pembatasan kawin silang secara sadar dan serius, pembuatan sistem KTP sementara bagi penduduk non OAP yang berdomisili Papua kurang dari 5 tahunan.
Tanpa itu semua, OAP boleh jadi kepala daerah dan kepala ini dan itu. Tapi semua hanya sementara, sambil menunggu minoritasnya demografi OAP secara keseluruhan menuju kepunahan.
Potret konkret: bila di Kabupaen A Bupatinya OAP. Seluruh staf tiap SKPDnya non OAP karena proses penerimaan pasti online. Contoh khusus hasil penerimaan CPNS Kabupaten Jayapura beberapa waktu lalu. Kenapa semua sistem di Papua secara online, agar seluruh penduduk di Indonesia bisa kerja dan mengabdi dimana saja.
Lantas mengapa Papua minta kekhususan atau diskresi? Sementara itu jelas berlawanan dengan misi atau program kebijakan Pusat? Selalu jawabannya dua: Pusat yang mengalah atau Papua yang mengalah. Bila pusat yang mengalah biasanya karena faktor perlawanan rakyat setempat. Tapi, bila dalam konteks Papua kekinian rakyat sudah tak berdaya karena gilasan sistem dan minoritas. Sa pa mo help?
Saya sudah katakan bahwa Pj Bupati Jayapura sudah Non OAP dalam postingan facebook pada 20 Desember 2022. Saya mengatakan bahwa ditunjuknya PJ bupati Non OAP untuk Kabupaten Jayapura adalah uji coba kebiri Roh Otsus, Pelecehan MRP dan tamparan bagi elit Pro DOB.
Sejak itu hingga hari ini sudah banyak kabupaten/Provinsi di Papua telah diisi Pj Non OAP. Ini hanyalah semacam coba-coba Jakarta untuk menilai reaksi OAP. Bila adem-adem saja maka ke depan mereka akan berani maju ke kepala daerah. Bila ada penolakan mereka akan mundur dimasa mendatang.
Itu analisa saya. Semoga saja salah. Namanya juga anailisa dan kritik. Salam baca.
Abepura, 08 April 2024