Oleh: Soleman Itlay
Coba kita sejenak merenungkan bagaimana Allah yang maha esa membangun identitas pada segala sesuatu. Sekarang kita lihat dari rumput Owasi-owasika ini.
Allah menghendaki setiap suku bangsa berjalan kemana dan menatap disitu menurut kehendak-Nya pula. Kemudian setiap suku bangsa membentuk identitas hidup melalui proses yang panjang.
Bukan Mengikuti “Jalan Pintas” Semata
Kita di Papua sini pun demikian adanya. Setelah tersebar dimana-mana dan berkembang disitu, para leluhur dan nenek moyang membangun identitas yang tidak mudah.
Mereka memberi nama terhadap anggota tubuh, ternak, rumput, pohon, batu, tanah, gua dan lainnya berdasarkan sejarah, mitologi, filosofi, bentuk, fungsi, manfaat dan kegunaan.
Semuanya terjadi menurut kehendak-Nya. Semata-mata membangun identitas Allah terhadap segala sesuatu yang ada dan menjadi pula.
Alhasillah bagi orang Latin. Mereka lebih dulu membangun identitas segala sesuatu. Dimana mereka memberi label berdasarkan bentuk, fungsi, manfaat, filosofi, mitologi dan lainnya. Akhirnya, roh dan jiwa mereka selalu hidup dan tersebar dimana-mana.
Seakan orang lain yang terlambat berkembang harus menjadi “terasing” dalam identitas mereka. Inilah awal jalan masuk kolonisasi, bukan hanya sekedar alienasi.
Kita masih punya pengalaman di seluruh kabupaten/kota di Tanah Papua. Semua tempat, telaga, danau, teluk, kali, gunung, jalan, bandar udara, pelabuhan dan lainnya dirubah atas nama pendudukan yang meliputi operasi militer, pembangunan, kesejahteraan, dan seterusnya.
Misalnya, jalan Irian, Sulawesi, Soekarno, M. Hatta, Ahmad Yani, Yos Sudarso dan lainnya. Atau kita sebut saja pegunungan Jayawijaya, Trikora, Cartenz, danau Habema dan lainnya.
Semua tempat ini ada identitasnya menurut sejarah, mitologi, filosofi dan pengetahuan dasar masyarakat lokal. Tetapi orang asing masuk memberi nama baru sesuka hati.
Akibatnya Apa?
Pengetahuan dasar tentang sejarah, mitologi, filosofi dan pengetahuan untuk mengetahui fungsi, manfaat dan kegunaan semakin hilang. Sampai anak-anak muda sulit lagi mengenal diri sendiri, termasuk segala sesuatu yang ada di alam sekitarnya.
Dimana saja kita boleh diutus, tapi satu hal yang perlu kita catat adalah tidak perlu mengubah atas nama pujian, kehormatan, popularitas dan keuntungan pula. Lebih elok bila seorang memperkuat identitas, memperjelas filosofi, meluruskan mitologi, dan menata pengetahuan dasar.
Apa bedanya kita mengubah identitas yang ada di dunia sekitar dengan menyangkal identitasnya? Apakah ini ada kaitannya dengan nas Firman Tuhan: Barangsiapa menyangkal Aku, maka aku juga akan menyangkal dia di hadapan Allah?
Semoga ini tidak ada Relevansinya
Tapi cukup sudah Lex Roux yang salah sebut kitong pu nama suku dengan sebutan “Ndani/Dani”–padahal sesungguhnya Hugula/ Hubula/ Huwurla/ Huwula/ dan Hubla.
Cukup sudah operasi militer Trikora mengubah Pegunungan Hiriakup, dan Irimuliak dengan Trikora dan Jayawijaya. Cukup sudah Cartenz dkk rubah nama Danau Yugunopa menjadi Habema.
Cukup orang lain yang ubah identitas kita, jangan lagi kita ikut menjadi orang lain untuk merubah identitas kita. Diantara semestinya kita saling mengakui, menghormati dan mendukung. Bukan saling menghilangkan identitas dan serupanya.
Bagaimana mungkin orang lain ataupun bangsa lain mau mengakui kita, sedangkan kita sendiri tidak mau mengakui identitas kita–saling menginjak-injak, menghilangkan, membelokkan, membelotkan identitas kita?
Marilah kita memulai dengan perkara kecil ini. Saling mengakui lewat apa saja. Salah satunya dengan sebut saja Owasi-owasika.
Noth!