Oleh: Mr. Nomen
Cerita yang menyenangkan di sebuah kampung yang menempel di gunung Kemuge. Kemuge adalah sebutan orang di kampung itu. Kepada gunung besar yang menjadi ekor gunung tertinggi di Papua, gunung Deiyai yang terletak di Kabupaten Deiyai-Papua. lebih sfesifiknya saya sebut kampung kecil itu ”Kampung Ditiba” (kampung distrik Tigi Barat).
Di kampung itu saya melihat, di pagi hari masyarakat beramai-ramai berpergian ke pusat kota untuk mencari bekal untuk hidup, ada pula yang berjualan apa yang mereka dapat dari kebun, danau dan hasil berburu, ada pula yang pergi mencari makan. tentu hal ini demi mendapatkan sepeser uang untuk makan lebih elit (nasi dan ayam), sungguh hidup yang terus dinamis kepada pola hidup yang menjadi ancaman bagi nilai-nilai budaya yang sebenarnya sudah menjadi dasar hidup bagi suku Mee yang sebetulnya lebih kaya akan hidup selamanya.
Saya lahir di kampung besar hingga pada usia remaja di kampung, dulu saya sangat mencintai kehidupan di kampung. Hidup nyaman tanpa ada tekanan dari pihak yang menggontrol keamanan di kampung, tidak ada orang mabuk, tidak ada orang bermain togel, tidak ada orang mati di jalan, tidak ada sakit penyakit. adalah kehidupan yang damai, makan selalu disediakan dari kebun dan hasil ternak, sungguh hidup yang menyenangkan, terasa surga ada disana dan malas mendengarkan kata kiamat akan datang. saya jujur sekali, sungguh mati saya mencintai kehidupan kampung yang dulu.
Di hari Sabtu sore yang ceria tanpa kehadiran hujan di kampung Ditiba, yang ada hanya mentari terakhir di pundak gunung Kemuge, mentari itu seakan menjadi efek cerah bagi bocah-bocah yang bermain ramai bermain bola tanpa tiang gawang segi empat di halaman SD Ditiba yang kadang kala sekolahnya sering libur lebih dari dua bulan karena gurunya kadang cuti di kota. saya menjadi saksi bagi mereka yang ceria bermain di halaman sekolah. mengiring bola kesana kesini menipu lawan, kebahagiaan mereka benar dan wajar karena mereka telah ada di surga bumi yang Tuhan berikan, walaupun hidup akan kesulitan telah menunggu mereka di kemudian hari yang akan datang melalui sistem yang ambur aduk ini.
Posisi duduk saya menjadi ragam rasa, sambil saya menyaksikan mereka berlari kesana-kesini, kadang saya senyum-senyum karena bahagia melihat mereka, kadang merasa sedih, kadang ada rasa rindu masa kecil ku dan terakhir saya bergumul dalam hati dengan kata hati saya ”semoga masa depan mereka lebih baik dari kehidupan masa kini dan punya harapan besar bagi keluarga, suku, daerah dan bangsa Papua.” saya hampir lupa untuk memotret mereka sebagai objek yang punya cerita di lain waktu nanti.
Dengan hati-hati saya memotret agar kualitas gambar lebih baik dari seorang ahli photografer asal Amerika, Nadav Kander. Tidak menyangka dan saya tidak melihat karena posisi saya lagi focus motret, ada bocah kecil kira-kira umur lima tahun naik di pundak saya sambil berkata dengan santai dan expresi bocah kecil itu seakan saya kakak kandungnya.
”e….. kakak ko bikin apa? (tanya boca kecil itu). wa, saya kaget..hahahahah.!
Saya: e… ade ko siapa? (tanya saya dengan sepengal senyum)
Bocah: Abi kaka (sambil ketawa)
Saya: Ko bikin apa sini.? (tanya saya)
Bocah: main bola to(jawab dengan santai)
Saya: bo… mantap (sambil saya beri jempol)
Bocah: hmhmhmhm(hanya senyum)
Saya: ko datang dengan siapa?
Bocah: Ikut saya punya kakak
Saya: ko punya kakak dimana?
Bocah: Itu disana ada main bola (sambil tunjuk kakanya lagi main bola)
Saya: ko bisa main bola ka?
Bocah: bisa tendang bola kaka (jawabnya sambil dia tendang rumput)
Saya: coba ko main bola?
Dengar tanya saya, bocah kecil itu berlari mengejar bola di tengga-tengga kakaknya yang sedang ramai mengejar bola, saya nontong, ternyata dia tidak berhasil mendapatkan bolanya untuk menyentu lantaran bocah itu masih kerdil, tidak kuat untuk merebut bola dari kakaknya itu, karena gagal bocah kecil itu berlari kembali ke saya dan berkata sambil duduk karena capek:
Bocah: sudah kakak (sambil meredakan kecapean tadi)
Saya: mantap, benar ko bisa main bola (sambil saya pukul pundaknya)
Boca: hhhmmmm (dia hanya tersenyum)
Boca kecil itu bangga dengar saya memuji, tidak lama kemudian bocah kecil itu berdiri dan di memperagakan cara tendang bola di depan saya, seakan dia menggurui saya karena saya mengakui dia bisa bermain bola, sungguh bocah kreng, saya yakin dia anak yang luar biasa. Pergaulan si anak itu akan membawa menjadi pribadi yang sukses apabila hidupnya tidak di penggaruhi oleh setan zaman yang gila (miras, rokok, sex bebas, narkoba, ganja).
Kasihan bocah kecil itu, dia bahagia sekali ketika bicara soal sepak bola ini, seakan Persidei, Persipani, Persido dan Persiintan sudah naik puncak di liga satu. Kesenangan dia dengan harapan ketika besar dia akan menjadi pemain yang hebat dan memperkuat tim besar asal Meepago yang sudah pada puncak di liga satu. namun sayangnya nasib sepak bola Meepago saat ini masih simpang siur, entah bagaimana dan kapan bangkitnya ”tidak tau pasti”. Semoga saja di generasinya bocah itu, sepak bola sudah berubah jauh,seperti sepak bola eropa saat ini.
Hari Sabtu sore mulai pergi dari hari Minggu dengan mengikuti sinar matahari yang tadi meneranggi jagat sore di kampung Ditiba mulai menghilang dibalik gunung Kemuge yang besar itu. benar, gelap semakin menutupi kampung itu, tidak ada lampu selain tunggu api di setiap masyarakat yang membumi disana, di kampung Ditiba bocah-bocah kecil itu berhenti bermain bola ketika mulai gelap, bola plastik seharga 50 ribu di kampung itu dan 20 ribu di kota berhenti dimainkan. ketika mendengar cerita kemahalan harga di kampung dan di kota, saya menjadi heran, kok, bisa begitu dan berpikir, Uang sebenarnya darimana? Apakah dari kampung di Papua atau dari Jakarta. wah, entahlah. Semoga setelah pemimpin berganti dari mass Jokowi di erah ini, ada perubahan nanti. mari kita berdoa.
Masyarakat di kampung itu bergegas untuk pulang kerumah dengan cara masing-masing, saya ikut pulang dan sepulangnya di jalan saya bertemu masyarakat di kampung itu pulang dengan hasil kebun, saya melihat ada mama-mama membawa ubi, sayur, tebu dan pula ikan hasil tangkapan mereka. Ada juga saya melihat kakek-kakek membawa kayu untuk menjemur badan dan masak. ado, sio.. kehidupan ini bukan primitif tapi yang membawa kehidupan baru yang klasik itulah primitif, kampung yang sempurna. Kehidupan masyarakat budaya yang sungguh mati kaya raya.
Kesempurnaan hidup di kampung lebih sempurna, tidak menyusahkan hidup, tidak digantung dengan kebutuhan makan minum, tidak mudah sakit dan tidak mudah mati. Disana di kampung adalah surga yang sebenarnya Tuhan titipkan bagi kita, budaya hidup adalah agama kita dan Tuhan telah ada dalam budaya itu.”Pendidikan bisa memberi Anda keahlian, tetapi pendidikan budaya mampu memberi Anda martabat” (Ellen Key Penulis, pendidik dan feminis dari Swedia 1849-1926).