Merauke. nirmeke.com — Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua (KPHHP) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencabut status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diberikan kepada PT Menara Nusa Mandiri (MNM) di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Proyek tersebut dinilai menjadi pintu masuk perampasan tanah adat masyarakat Malind serta melahirkan praktik kriminalisasi terhadap pemilik hak ulayat.
Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (2/10/2025), KPHHP menyoroti kasus kriminalisasi yang menimpa Vinsen Kwipalo, warga pemilik tanah adat yang kini diproses hukum atas laporan PT MNM. Koalisi menilai tindakan itu sebagai bentuk intimidasi dan upaya membungkam masyarakat adat yang menolak proyek perkebunan tebu berskala besar.
“Negara justru bertindak sebagai fasilitator perampasan tanah adat. Status PSN hanya menjadi legitimasi bagi perusahaan untuk masuk dan merusak kehidupan masyarakat Malind,” tegas KPHHP.
Ancaman Perampasan Tanah Adat
KPHHP menilai proyek PT MNM yang dikategorikan sebagai PSN telah memicu keresahan luas karena mengancam kedaulatan pangan, merusak hutan, serta memutus akses masyarakat adat terhadap ruang hidupnya.
“Tanah adalah sumber kehidupan orang Papua. Jika tanah dirampas, maka identitas dan masa depan generasi Malind ikut hilang,” lanjut pernyataan itu.
Koalisi menambahkan, proyek serupa sebelumnya telah meninggalkan jejak penderitaan bagi masyarakat adat di berbagai wilayah Papua. Namun, pemerintah dinilai tetap mengabaikan suara warga dengan alasan pembangunan nasional.
Desakan Koalisi HAM
Melalui pernyataannya, KPHHP menyampaikan tiga tuntutan utama:
- Presiden Prabowo Subianto segera mencabut status PSN bagi PT MNM di Merauke.
- Menghentikan kriminalisasi terhadap Vinsen Kwipalo dan pemilik tanah adat lainnya.
- Memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat Malind sesuai dengan konstitusi dan instrumen HAM internasional.
Koalisi menegaskan, kriminalisasi terhadap pemilik tanah adat dan keberpihakan pemerintah kepada perusahaan hanyalah bentuk pengingkaran terhadap keadilan.
“Kami menyerukan publik untuk mengawal kasus ini, karena tanpa tekanan dari masyarakat luas, praktik perampasan tanah adat akan terus berulang,” tutup pernyataan KPHHP. (*)
Pewarta: Aguz Pabika
