Makassar, nirmeke.com — Front Justice for Tobias Silak mendesak Komnas HAM RI dan Kepolisian Republik Indonesia segera menuntaskan proses hukum terhadap empat anggota aparat keamanan yang diduga terlibat dalam penembakan terhadap Tobias Silak, staf Bawaslu Kabupaten Yahukimo, Papua.
Peristiwa penembakan terjadi pada 20 Agustus 2024 di Jalan Sekla, Dekai, Yahukimo, yang diduga dilakukan oleh anggota gabungan Satgas Damai Cartenz. Tobias Silak tewas di tempat dalam insiden tersebut. Front Justice menilai kasus ini sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia berat, dan mengkritik penanganan hukum yang dianggap lambat serta tidak transparan.
Dalam rilis pers yang diterima redaksi pada 26 Mei 2025, Front Justice menyebut bahwa hingga lebih dari delapan bulan pasca-penembakan, proses hukum terhadap para pelaku berjalan lambat dan tidak menyentuh pelaku di level komando.
“Polda Papua hanya menetapkan dua anggota Brimob sebagai tersangka, sementara dua pelaku lainnya yang berada di level komando belum disentuh. Ini menunjukkan upaya perlindungan terhadap atasan pelaku,” ujar Kapten, Koordinator Lapangan Front Justice dalam pernyataannya.
Hasil Investigasi Komnas HAM Tertutup
Front Justice juga menyoroti hasil investigasi Komnas HAM RI yang dilakukan pada 24–26 September 2024 di Yahukimo. Hasil investigasi baru disampaikan secara tertutup kepada keluarga korban pada 17 Desember 2024, setelah desakan aksi serentak di berbagai wilayah, termasuk Papua dan Jakarta.
Menurut mereka, investigasi tersebut seharusnya menjadi dasar untuk menjerat seluruh pelaku, termasuk komandan yang terlibat secara struktural dalam operasi.
“Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk kejahatan kemanusiaan. Penanganan kasus ini seharusnya berada di bawah yurisdiksi Pengadilan HAM, bukan pengadilan pidana umum,” tegasnya.
Pasal yang Digunakan Dinilai Tidak Relevan
Dalam proses penyidikan, penyidik hanya menjerat dua pelaku dengan pasal 338 KUHP (pembunuhan), pasal 359 (kelalaian yang menyebabkan kematian), dan pasal 360 (kelalaian yang menyebabkan luka berat), tanpa memasukkan pasal 340 tentang pembunuhan berencana atau pasal 55 tentang turut serta melakukan tindak pidana.
“Ini bentuk pengaburan fakta dan upaya meringankan hukuman terhadap pelaku,” tambahnya.
Penolakan Adat, Desakan Sidang Terbuka
Keluarga korban dan perwakilan 12 suku di Yahukimo menolak segala bentuk penyelesaian adat seperti “bayar kepala” yang ditawarkan oleh aparat keamanan setempat. Mereka menuntut proses hukum dilakukan secara terbuka di Pengadilan Negeri Jayapura, bukan di Wamena, dengan alasan kondisi keamanan.
“Kami ingin persidangan terbuka untuk umum, agar publik bisa menyaksikan langsung proses keadilan,” kata salah satu perwakilan keluarga korban.
Tuntutan Tambahan
Selain mendesak percepatan proses hukum, Front Justice juga menyuarakan sejumlah tuntutan lain:
- Menuntut vonis maksimal dan pemecatan pelaku dari institusi.
- Menuntut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi keluarga korban.
- Menghentikan segala bentuk kekerasan dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) di Tanah Papua.
- Menarik seluruh pasukan militer organik dan non-organik dari Papua.
- Menolak proyek strategis nasional (PSN) dan perusahaan eksploitasi sumber daya alam yang dinilai merugikan rakyat Papua.
Mereka juga menyerukan pembebasan empat aktivis yang dituduh makar oleh Polda Papua Barat serta pembukaan ruang demokrasi bagi mahasiswa Papua di Kota Makassar.
Jika tuntutan tersebut tidak ditindaklanjuti, Front Justice menyatakan siap melakukan aksi mobilisasi massa besar-besaran di berbagai kota di Indonesia dan Papua.
Redaksi telah mencoba menghubungi pihak Polda Papua, Komnas HAM RI, dan Kejaksaan Tinggi Papua untuk meminta klarifikasi dan tanggapan, namun hingga berita ini ditayangkan belum mendapat respons resmi.(*)
Pewarta: Grace Amelia