Oleh: Benny Mawel
Polemik seputar Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Gubernur Papua semakin memanas, diwarnai oleh manuver politik yang menimbulkan tanda tanya besar, terutama terkait posisi Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo. Pernyataan dan tindakan Rollo yang kontradiktif telah memicu perdebatan sengit, khususnya di kalangan masyarakat pegunungan, mengancam untuk menjadikan mereka instrumen politik dalam drama ganda sang Wali Kota.
Liku-liku Peran Asimetris Rollo
Mengikuti jejak Abisai Rollo melalui berbagai pemberitaan, terlihat jelas bahwa ia, seorang Ondoafi Kampung Skow dan kader Partai Golkar yang akhirnya menduduki kursi Wali Kota Jayapura setelah beberapa kali percobaan, kini justru berada di persimpangan jalan politik. Ironisnya, Partai Golkar yang mengusungnya telah secara resmi mendukung pasangan MARI-YO dalam Pilkada Gubernur Papua 2024, yang kini menghadapi PSU. Namun, Rollo tampak melenceng dari garis “tegak lurus” keputusan partai.
Peran asimetris Rollo semakin kentara dengan beredarnya video viral di media sosial yang menyinggung “orang gunung yang demo-demo di kota Jayapura.” Pernyataan ini bukan sekadar celotehan biasa, melainkan indikasi strategis menjelang PSU Gubernur Papua. Diduga, ini adalah upaya Rollo untuk mengamankan posisinya baik di internal Golkar maupun di kalangan sesama anak Port Numbay yang saat ini mendukung kandidat gubernur dari PDIP. Dua momen kunci menyoroti inkonsistensi Rollo:
Pertama, dukungan terbuka Rollo kepada BTM dalam PSU Papua, sebuah sikap yang mengejutkan publik. Sebagai Ondoafi dan putra asli Port Numbay, Rollo menyatakan dukungannya dalam sambutan syukuran pelantikannya di Balai Kota Jayapura, pada 3 Maret 2025, yang juga dihadiri oleh BTM. “Ini kemenangan tertunda bagi BTM. Kalau saya wali kota, puji Tuhan BTM gubernur Papua,” ujarnya. Pernyataan ini jelas-jelas bertolak belakang dengan loyalitasnya sebagai kader Golkar dan dukungan resmi partainya terhadap pasangan MARI-YO.
Kedua, video kontroversial Abisai Rollo yang secara eksplisit menyinggung “orang gunung.” Reaksi publik pun beragam dan keras. Rollo dicap sebagai pemimpin rasis, tidak bijak, dan dituding berusaha memecah belah persatuan sesama masyarakat Papua, bahkan dikaitkan langsung dengan intrik PSU Gubernur Papua.
Implikasi dari Peran Ganda
Dari dua fakta krusial ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan kritis:
Pertama, dualisme dukungan. Abisai Rollo terlihat memainkan peran ganda dengan mendukung dua kandidat dalam PSU Papua. Sebagai figur Tabi dan anak Port Numbay, wajar jika ia condong mendukung BTM untuk memimpin Papua dengan ibu kota di Port Numbay. Namun, sebagai kader Partai Golkar, ia memiliki kewajiban untuk mendukung MARI-YO yang merupakan usungan resmi partainya dan koalisi. Dualisme ini mencerminkan pragmatisme politik yang mengabaikan etika dan loyalitas partai.
Kedua, potensi fragmentasi dukungan BTM. Pernyataan Rollo yang merendahkan “orang gunung” berpotensi menjadi bumerang bagi BTM. Mengingat Rollo berbicara bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai tokoh terkemuka Port Numbay, narasi lama terkait pernyataan mantan Wali Kota BTM tentang “orang gunung di kota Jayapura” dapat kembali mengemuka. Meskipun BTM telah berupaya merangkul masyarakat pegunungan dengan metafora “batu yang turun dari gunung tidak akan naik kembali, dia akan tinggal selamanya di sini,” insiden ini dapat merusak jembatan yang telah dibangun.
Ketiga, peringatan bagi masyarakat Pegunungan. Masyarakat pegunungan perlu sangat berhati-hati dalam menanggapi ungkapan Rollo. Ada urgensi untuk memisahkan secara tegas antara isu ujaran kebencian yang dilontarkan Rollo dengan dinamika PSU Pilkada. Jika ketidakmampuan memisahkan kedua hal ini berlanjut, masyarakat pegunungan berisiko tinggi untuk dimanipulasi dan dijadikan alat politik yang efektif dalam skema posisi ganda Wali Kota Jayapura. Ini adalah panggilan untuk kebijaksanaan dan kemandirian dalam menyikapi setiap pernyataan yang berpotensi memecah belah.
Manuver politik Abisai Rollo bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan cerminan dari kompleksitas dan intrik dalam perebutan kekuasaan di Papua. Peran ganda serta pernyataan kontroversialnya tidak hanya menguji soliditas internal partai, tetapi juga berpotensi mengoyak tatanan sosial dan politik di tengah masyarakat Papua yang beragam. Masyarakat, khususnya masyarakat pegunungan, diharapkan tetap kritis dan tidak terprovokasi, agar tidak terjebak dalam permainan politik yang justru merugikan persatuan dan pembangunan Papua. ***
)* Mantan Jurnalis Jubi sekaligus Waket II MRP Papua Pegunungan