Wamena, nirmeke.com — Aktivis kemanusiaan asal Wamena, Yefta Lengka, mengajak generasi muda Papua untuk bersama-sama memerangi peredaran minuman keras (miras) dan narkoba (napza), khususnya di wilayah Pegunungan Papua. Ia menyampaikan hal ini saat menggelar sosialisasi bersama Pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Jemaat Damai, Klasis Lembah Balim, Wilayah Bogo, di Wesaput, Kabupaten Jayawijaya.
- Dalam seminar tersebut, Yefta menyoroti berbagai persoalan serius yang dihadapi oleh masyarakat Papua, terutama generasi muda. Menurutnya, terdapat empat faktor utama yang menyebabkan kematian masyarakat Papua saat ini: konflik bersenjata, penyalahgunaan miras dan napza, penyebaran HIV/AIDS, dan konflik antarsuku.
“Dari keempat faktor itu, miras dan narkoba menjadi ancaman nyata yang merusak generasi muda secara perlahan tapi pasti. Ini harus menjadi musuh bersama orang asli Papua,” tegas Yefta di hadapan para pemuda gereja.
Ia menilai, selain faktor kekerasan bersenjata, kerusakan sosial akibat miras, narkoba, dan seks bebas sering kali tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena tidak menggunakan kekerasan fisik secara langsung. Padahal, menurutnya, dampaknya sangat fatal dan sistemik.
Yefta juga mengkritisi adanya indikasi keterlibatan oknum aparat keamanan dalam membekingi peredaran barang-barang terlarang tersebut. Ia menduga praktik ini menjadi bagian dari upaya sistematis yang merusak tatanan sosial masyarakat adat Papua.
“Jika ada oknum yang terlibat dalam distribusi miras dan napza, masyarakat bisa melaporkannya kepada kami. Kami akan tindak lanjuti dengan jalur hukum dan advokasi,” ujarnya.
Selain itu, Yefta menekankan pentingnya peran keluarga dan gereja dalam menjaga moral serta membimbing generasi muda. Menurutnya, nilai-nilai agama harus menjadi fondasi dalam membentengi anak-anak muda dari pengaruh buruk lingkungan.
“Kita semua mendambakan kehidupan yang aman dan damai di tanah ini. Karena itu, barang-barang merusak seperti miras dan napza tidak boleh diberi ruang untuk merenggut masa depan orang Papua,” tutup Yefta.(*)