Merauke, nirmeke.com – Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante, menilai bahwa pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, telah melanggar hak-hak masyarakat adat, merusak lingkungan hidup, dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
Dalam keterangan pers yang disampaikan pada Senin (14/4), Franky menduga proyek tersebut dijalankan tanpa dokumen lingkungan yang sah dan tanpa melibatkan masyarakat terdampak serta organisasi lingkungan hidup sejak proses awal penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
“Dokumen lingkungan belum tersedia dan masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan kerangka acuan maupun penilaian Amdal. Ini melanggar prinsip-prinsip partisipasi publik dalam proyek pembangunan,” ujar Franky.
Ia juga menambahkan bahwa pelaksanaan PSN tersebut berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini diperkuat oleh temuan Komnas HAM dalam surat rekomendasi bernomor 189/PM.00/R/III/2025, yang menyebutkan adanya indikasi pelanggaran HAM dalam proyek ketahanan pangan dan energi tersebut.
Surat itu merupakan respons atas pengaduan masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei, yang didampingi oleh Yayasan Pusaka dan LBH Papua Pos Merauke pada Oktober 2024. Aduan tersebut mencakup dugaan perampasan tanah ulayat, pelanggaran hak hidup, hak atas mata pencaharian, serta hak atas lingkungan hidup.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam konferensi Solidaritas Merauke (14/3), menyatakan bahwa penguasaan lahan oleh negara dan korporasi tanpa persetujuan masyarakat adat berdampak langsung pada keberlangsungan hidup mereka.
Sebagai tindak lanjut, Komnas HAM telah meminta keterangan dari sejumlah pihak, termasuk Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, serta TNI. Surat bernomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 dikeluarkan pada 18 November 2024.
Temuan Penting Komnas HAM
Dalam laporannya, Komnas HAM mencatat 13 temuan penting. Di antaranya:
- Luas Proyek PSN mencapai 2 juta hektare, mencakup hutan sagu, hutan alam, dan rawa-rawa yang merupakan sumber hidup masyarakat adat di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik.
- Penetapan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Hak Penggunaan Lain (HPL) dilakukan tanpa pelibatan substansial masyarakat adat.
- Legalitas kepemilikan hak ulayat masyarakat adat masih lemah, hanya berdasarkan pemetaan partisipatif yang belum memiliki kekuatan hukum tetap.
- Beberapa perusahaan, seperti PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri, telah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah adat.
- Penambahan kekuatan militer di area proyek menimbulkan ketakutan dan intimidasi di kalangan warga. Tercatat 2.000 personel TNI dan 300 alat berat telah dikerahkan.
Komnas HAM menilai bahwa PSN Merauke bertentangan dengan sejumlah regulasi nasional serta konvensi internasional ILO 169, yang menekankan pentingnya persetujuan bebas, didahului informasi, dan tanpa paksaan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat.
Rekomendasi Komnas HAM
Komnas HAM dalam surat resminya memberikan lima rekomendasi utama kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke:
- Meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan proyek.
- Melakukan pemetaan tanah ulayat secara partisipatif dan berbasis hukum.
- Memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat.
- Menjamin transparansi dalam proses penetapan HPK dan HPL.
- Menjamin keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat adat sebagai bagian dari manfaat proyek.
Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, menyatakan bahwa surat ini merupakan bentuk komitmen negara dalam menghormati dan melindungi hak masyarakat adat.
“Kami menyampaikan surat ini sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM masyarakat adat Merauke yang selama ini termarjinalkan oleh proyek berskala besar,” ujar Uli dalam surat rekomendasi tersebut.
Desakan Solidaritas Merauke
Menanggapi rekomendasi Komnas HAM, Solidaritas Merauke mendesak agar rekomendasi serupa segera dikeluarkan untuk Presiden RI dan kementerian terkait, seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Investasi, Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kehutanan.
“Kami meminta Komnas HAM tidak hanya memberikan rekomendasi, tetapi juga melakukan investigasi mendalam atas dugaan pelanggaran HAM berat yang sistematis, terstruktur, dan berdampak luas sejak proyek MIFEE, KEK, hingga PSN saat ini,” ujar Teddy J. Wakum, juru bicara Solidaritas Merauke.(*)