Wamena, nirmeke.com — Solidaritas Masyarakat Adat dari tiga distrik di Kabupaten Jayawijaya, yaitu Wouma, Welesi, dan Assolokobal, secara tegas menolak rencana penempatan lahan pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Provinsi Papua Pegunungan (P3) di atas lahan perkebunan rakyat.
Penolakan ini telah berlangsung sejak Juli 2022 hingga Mei 2025. Masyarakat menilai bahwa lahan yang direncanakan menjadi lokasi KIPP merupakan wilayah subur yang menjadi sumber kehidupan utama bagi ribuan warga dari berbagai suku, termasuk Lani, Yali, Mee, dan Ndugama.
“Lahan ini bukan tanah tandus atau berbukit yang tidak bisa ditanami. Ini adalah tanah datar dan subur yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami,” demikian pernyataan tertulis Solidaritas Masyarakat Adat Wouma, Welesi, dan Assolokobal, yang diterima media, Jumat (2/5).
Menurut warga, lahan tersebut telah dimanfaatkan secara turun-temurun untuk menanam petatas, keladi, singkong, jagung, tebu, dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya. Hasil panen dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga serta dijual untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sehari-hari.
“Jika lahan ini dijadikan kawasan perkantoran, lalu dari mana anak cucu kami makan? Kebun ini adalah kantor kami, dan bertani adalah profesi kami,” tegas mereka.
Penolakan tersebut semakin menguat setelah masyarakat menyaksikan video kunjungan Gubernur Papua Pegunungan ke lokasi rencana pembangunan di wilayah perbatasan Wouma dan Welesi. Menyikapi hal ini, solidaritas masyarakat adat menyampaikan empat poin rekomendasi:
- Meminta kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Pegunungan agar tidak membangun KIPP di atas lahan garapan masyarakat Wouma, Welesi, dan Assolokobal.
- Mendesak Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Provinsi Papua Pegunungan untuk menentukan lokasi KIPP yang lebih strategis dan tidak bermasalah secara sosial.
- Mengajak pimpinan gereja dan tokoh agama, termasuk Uskup Keuskupan Jayapura, Dewan Gereja Papua (DGP), dan Ketua Sinode dari berbagai denominasi, untuk mengadvokasi persoalan ini sebagai isu kemanusiaan dan keadilan.
- Memohon dukungan lembaga-lembaga independen seperti AlDP, LBH Papua, SKPKC Fransiskan Papua, serta Komnas HAM untuk melakukan analisis dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh perwakilan masyarakat di Wamena, Jayapura, dan Jakarta sebagai bentuk konsistensi perjuangan mereka menyelamatkan lahan pertanian rakyat.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh perwakilan masyarakat dari tiga wilayah, yaitu:
- Wamena:
Bonny Lanny (perwakilan Distrik Welesi)
Manu Ikinia (perwakilan Distrik Wouma) - Jayapura:
Melki Wetipo (perwakilan Distrik Wouma)
Jasman Yaleget (perwakilan Distrik Welesi) - Jakarta:
Meki Wetipo (perwakilan Distrik Wouma)
Frensius Lanny (perwakilan Distrik Welesi)
Mereka mewakili Solidaritas Masyarakat Adat Wouma, Welesi, dan Assolokobal dalam perjuangan menolak penempatan lahan pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di area perkebunan rakyat yang selama ini menjadi sumber kehidupan utama warga.(*)