Wamena, nirmeke.com — Di balik kabut pegunungan Jayawijaya yang sejuk, sebuah langkah kecil namun bermakna besar lahir di Kampung Sumunikama, Distrik Itlay-Hisage. Pada Sabtu (26/4/2025), ratusan masyarakat berkumpul dengan penuh sukacita untuk menyaksikan peristiwa bersejarah: peresmian Sekolah Adat “Santo Yohanes Pembaptis II”.
Suasana kampung begitu hidup. Anak-anak, orang tua, hingga tetua adat berkumpul di sekitar lokasi sekolah sederhana yang berdiri dengan latar alam Papua yang megah. Hari itu bukan sekadar tentang membuka sebuah bangunan baru. Ini adalah tentang membuka ruang bagi masa depan yang berakar kuat pada budaya sendiri.

Sekolah adat ini didirikan atas kerja sama antara Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Pegunungan, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, dan masyarakat adat setempat. Menyusul pembukaan Sekolah Adat “Santo Yohanes Pembaptis I” di Yogonima, kini Sumunikama menjadi saksi lahirnya pendidikan berbasis kearifan lokal kedua di distrik ini.
Belajar Menemukan Diri
Berbeda dari sekolah pada umumnya, Sekolah Adat “Santo Yohanes Pembaptis II” mengusung misi unik: membangun jalan ke dalam diri. “Belajar tentang diri sendiri, menemukan jati diri, mengakari dan memperkokoh diri,” tutur Bartolemeus Hisage, salah satu pengurus sekolah, saat berbicara di hadapan hadirin.
Sekolah ini tidak hanya mengajarkan ritual adat atau menjaga simbol-simbol budaya semata. Lebih dari itu, ia menjadi ruang suci untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kehidupan, membangun identitas, dan menghubungkan generasi muda Papua Pegunungan dengan akar mereka yang kian tergerus zaman.
“Kami tidak ingin pendidikan adat ini dipandang sebagai penyembahan berhala atau melupakan Tuhan. Justru, ini adalah jalan untuk mengenal ciptaan dan Sang Pencipta melalui budaya kita sendiri,” tambah Bartolemeus.
Kolaborasi untuk Masa Depan
Dalam acara tersebut, hadir pula tokoh-tokoh penting, seperti Benny Mawel dari MRP Provinsi Papua Pegunungan, dan Engelbertus Surabut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya. Mereka menyampaikan dukungan penuh terhadap gerakan menghidupkan pendidikan adat ini.

Sebelum sekolah ini berdiri, panitia telah menjalin koordinasi intensif dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya dan Pemerintah Provinsi. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa Sekolah Adat tidak berjalan sendiri, melainkan bersinergi dengan upaya formal pemerintah dalam menjaga warisan budaya.
“Kita harus memperkuat basis pemerintahan adat ke depan, dan Sekolah Adat adalah pondasi pentingnya,” ujar Engelbertus Surabut dalam sambutannya.
Harapan di Tengah Ancaman
Di tengah modernisasi yang pesat, banyak bahasa daerah dan tradisi kampung yang mulai pudar. Sekolah Adat “Santo Yohanes Pembaptis II” hadir sebagai benteng terakhir untuk mempertahankan identitas yang hampir hilang.
Profil sekolah dan kurikulumnya telah dirancang, dengan harapan ke depan semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, maupun lembaga swasta, dapat berkolaborasi untuk menghidupkan kembali budaya lokal di setiap kampung.
Di Sumunikama hari itu, suara tawa anak-anak berpadu dengan doa-doa adat yang dilantunkan para tetua. Di balik sederhana dan sunyinya kampung, lahir harapan baru: sebuah jalan panjang menuju masa depan yang tetap berakar pada jati diri. (*)
Pewarta: Grace Amelia