Jayapura, nirmeke.com — Memperingati Hari Bumi 2025, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyuarakan keprihatinannya atas kondisi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Dalam rilis resmi yang diterbitkan hari ini, WALHI menilai bahwa Papua tengah menghadapi ancaman serius akibat ekspansi industri ekstraktif yang merusak hutan dan ruang hidup masyarakat adat.
Tanah Papua dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tutupan hutan hujan tropis terbesar di dunia, mencapai sekitar 83% dari luas wilayahnya. Hutan ini bukan hanya kaya akan keanekaragaman hayati, tetapi juga merupakan sumber kehidupan bagi lebih dari 200 suku asli Papua.
Namun, menurut WALHI, ratusan marga kini terancam kehilangan hutan adat mereka akibat maraknya aktivitas perusahaan sawit, pertambangan, migas, dan kehutanan yang diberi izin oleh pemerintah.
“Hutan adat selama ini menjadi tempat masyarakat adat mencari makan, berburu, berobat dengan tanaman tradisional, dan menjalankan ritual sakral. Hutan adalah identitas dan sumber kehidupan kami,” ungkap Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, Maikel Primus Peuki.
WALHI menilai bahwa pemberian izin usaha oleh pemerintah pusat maupun daerah dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat secara adil. Bahkan, mereka menuding adanya praktik intimidasi dan kekerasan oleh aparat negara dalam proses perampasan lahan.
Salah satu kasus yang disoroti adalah perusakan hutan adat di wilayah Ha Anim, Papua Selatan, akibat pembangunan perkebunan tebu dan padi. Proyek ini dinilai tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghilangkan sumber pangan lokal seperti sagu, ikan, dan tanaman hutan lain yang selama ini menjadi konsumsi utama masyarakat adat.
WALHI Papua menyampaikan empat tuntutan utama kepada pemerintah:
- Mencabut izin usaha perusahaan yang beroperasi di tanah adat Papua karena telah merampas wilayah hidup masyarakat secara tidak adil dan tertutup.
- Mengakui dan melindungi hutan adat yang telah dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun.
- Menyusun regulasi perlindungan khusus bagi masyarakat adat dan hutan Papua sebagai bagian dari komitmen menghadapi krisis iklim global.
- Meninjau kembali izin-izin perusahaan yang tersebar di berbagai kabupaten seperti Boven Digoel, Merauke, Jayapura, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Mimika, Nabire, Fakfak, dan Keerom.
“Tanah Papua adalah rumah kami. Ia bukan hanya sumber kehidupan masyarakat adat, tetapi juga benteng terakhir dalam menghadapi perubahan iklim dunia. Pemerintah harus menghentikan praktik perampasan ruang hidup ini,” tegas Maikel. (*)