Oleh: Akia Wenda
Pemilu di Papua, khususnya di wilayah Pegunungan, kerap diwarnai konflik yang menimbulkan kerugian besar, baik dari segi sosial, politik, maupun kemanusiaan. Salah satu penyebab utama yang terus menjadi sorotan adalah penggunaan Sistem Noken, sebuah metode pemungutan suara berbasis tradisi lokal yang secara hukum diakui, namun dalam praktiknya kerap memicu ketegangan dan kekerasan.
Sistem Noken: Diakui Hukum, Dipertanyakan Pelaksanaan
Sistem Noken merupakan metode pemilu tradisional masyarakat adat Papua, di mana suara tidak diberikan secara langsung oleh individu, melainkan diwakilkan oleh kepala suku atau tokoh adat. Sistem ini diakui secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, serta diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penerapannya sah selama dilaksanakan secara jujur, transparan, dan berdasarkan kesepakatan bersama.
Namun, kenyataannya di lapangan tidak selalu ideal. Musyawarah adat kerap hanya melibatkan segelintir elit, tanpa partisipasi penuh masyarakat. Akibatnya, sistem ini menjadi ladang subur bagi manipulasi suara dan pemaksaan kehendak kelompok tertentu.
Konflik Pemilu dan Dampaknya di Papua Pegunungan
Pemilu 2024 menjadi contoh nyata dari dampak negatif Sistem Noken. Di sejumlah kabupaten seperti Lanny Jaya, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Jayawijaya, terjadi bentrokan antarpendukung yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, hingga kerusakan harta benda. Di Lanny Jaya, satu orang tewas dan ratusan lainnya terluka dalam bentrokan Pilkada, sementara rumah dan kendaraan warga dibakar massa.
Manipulasi suara juga dilaporkan terjadi. Di Tolikara, beberapa distrik dilaporkan tidak melaksanakan pemungutan suara, tetapi tetap menghasilkan data perolehan suara di tingkat kabupaten. Praktik seperti ini mencederai kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan memicu gugatan hukum serta protes sosial.
Demokrasi yang Tergerus
Sistem Noken, meski dilabeli sebagai kearifan lokal, pada praktiknya sering bertentangan dengan prinsip demokrasi universal: satu orang, satu suara, satu nilai. Banyak warga merasa kehilangan hak konstitusional mereka untuk memilih secara langsung. Ketidakpercayaan ini melemahkan legitimasi pemimpin yang terpilih, sekaligus mengancam stabilitas pemerintahan daerah.
Korban Jiwa dan Trauma Sosial
Konflik yang timbul akibat Pilkada tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang mendalam. Dalam Pilkada 2024, setidaknya 12 orang dilaporkan tewas, dan ratusan lainnya luka-luka dalam bentrokan yang terjadi di berbagai wilayah Papua Pegunungan. Kekerasan ini menanamkan trauma dan memperparah ketegangan antarwarga maupun antarsuku.
Kepemimpinan Lemah, Pemerintahan Terhambat
Konflik yang menyertai Pilkada sering kali menghasilkan kepala daerah yang minim legitimasi dan kualitas kepemimpinan yang diragukan. Situasi ini memperburuk pelayanan publik dan memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan politik di daerah menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif, dan masyarakat semakin apatis terhadap proses demokrasi.
Permusuhan Berkelanjutan Antar Calon
Permusuhan antara calon kepala daerah dan pendukungnya sering kali tidak berakhir setelah pemilu usai. Konflik yang tidak terselesaikan menciptakan dendam berkepanjangan, yang kemudian terbawa ke pemilu berikutnya, memperpanjang siklus kekerasan dan ketidakstabilan.
Solusi: Menuju Pemilu Damai dan Demokratis
Mengakhiri konflik yang dipicu oleh sistem pemilu di Papua membutuhkan pendekatan holistik yang mengedepankan dialog, reformasi, dan edukasi. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Dialog Terbuka antara pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencari solusi bersama yang adil dan inklusif.
- Pendidikan Pemilu kepada masyarakat agar memahami pentingnya pemilu yang jujur, transparan, dan partisipatif.
- Pengawasan Ketat dalam seluruh tahapan pemilu untuk mencegah praktik manipulatif.
- Reformasi Sistem, yaitu beralih ke metode pemilu langsung yang menjamin hak suara individu, tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya lokal.
Penutup
Sistem Noken yang semula dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap budaya lokal kini menjadi salah satu faktor utama yang memicu konflik dalam proses demokrasi di Papua. Saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerapannya. Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi yang menyatukan, bukan ajang perebutan kekuasaan yang menimbulkan perpecahan dan korban jiwa. Perubahan bukan hanya mungkin, tetapi mendesak.
)* Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua, Jurnalis di Wamena, Papua Pegunungan