Oleh Benny Mawel
Antrian BBM yang berlangsung lebih dari satu jam di Pulau Jawa sering kali menjadi perhatian publik dan menjadi perbincangan besar di Indonesia. Namun, hal tersebut seolah menjadi hal biasa di Wamena, Jayawijaya. Masyarakat setempat, bersama pemerintah, menyaksikan antrian panjang ini setiap hari tanpa ada komentar atau kebijakan yang jelas untuk mengatasinya. Kita tampaknya diam, bahkan menganggap antrian yang berlangsung bertahun-tahun itu sebagai sesuatu yang wajar.
Namun, mengapa kita membiarkan fenomena ini? Mengapa antrian BBM bertahun-tahun masih terjadi di Wamena? Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan kondisi ini? Bagaimana cara mengatasi masalah antrian dan harga BBM yang mahal di sana?
Dalam tulisan ini, saya akan berusaha menjawab empat pertanyaan utama tersebut melalui ulasan fakta, analisis, serta sejumlah saran. Saya menulis ini dengan beberapa harapan:
Untuk membuka mata semua pihak mengenai realitas yang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius.
Untuk menyuarakan keluhan masyarakat yang belum cukup didengar atau yang tidak memiliki saluran untuk bersuara.
Untuk memperjuangkan pemenuhan hak ekonomi masyarakat asli Papua Pegunungan di era otonomi khusus Papua.
Untuk memastikan kesejahteraan masyarakat asli Papua (OAP) dapat tercapai dengan biaya transportasi yang murah dan harga barang yang wajar, sehingga kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.
Fakta BBM di Wamena
Sejak saya pindah ke Wamena pada tahun 2022, saya mulai menyaksikan antrian panjang di empat APMS (Agen Penyalur Minyak Solar) yang ada di kota ini, yang terus berlanjut hingga awal tahun 2025. Keempat APMS tersebut adalah APMS Kama, APMS Sinapuk, SPBU Polres Jayawijaya, dan APMS Honelama. Antrian panjang ini bukanlah hal baru; fenomena serupa sudah terjadi sejak 2005, saat saya baru lulus SMA. Lalu, mengapa masalah ini masih berlanjut meski ada empat SPBU di Wamena?
Waktu dan Kuota Antrian
Dari observasi saya, tidak ada satu pun SPBU di Wamena yang dapat melayani kendaraan tanpa antrian, kecuali setelah jam pengisian BBM bersubsidi. Antrian panjang ini dimulai sejak malam hari, bahkan pada pukul 10 malam atau 4 pagi, para pemilik kendaraan rela antri hingga pukul 8:30 pagi, saat pelayanan pengisian dimulai. SPBU hanya melayani pengisian BBM jenis Pertalite hingga pukul 14:00, kemudian beralih ke jenis Pertamax hingga pukul 16:00. Setelah pukul tersebut, pengisian BBM dihentikan, dan masyarakat beralih ke pengecer di kios-kios BBM yang tersebar di sepanjang jalan Wamena.
Selain itu, ada pembatasan kuota pengisian yang diterapkan oleh SPBU. Setiap kendaraan roda empat hanya diperbolehkan mengisi maksimal 20 liter per hari, sementara kendaraan roda dua juga harus antri. Kuota harian BBM yang tersedia sangat terbatas, antara 4 hingga 8 drum per SPBU, yang setara dengan 800 hingga 1.600 liter per hari. Pembatasan ini jelas tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Wamena.
Kendaraan yang Sama, Masalah yang Sama
Beberapa kendaraan tertentu terlihat selalu mengisi BBM di SPBU yang sama setiap hari, bahkan ada yang berpindah dari satu SPBU ke SPBU lain dalam satu hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang memanfaatkan BBM subsidi ini secara rutin? Pembatasan waktu dan kuota pengisian BBM jelas memengaruhi mobilitas masyarakat. Angkutan umum, tukang ojek, hingga pekerja kantoran terpaksa membeli BBM di pengecer dengan harga jauh lebih mahal, yang bisa mencapai 18 ribu hingga 21 ribu per liter.
Perbedaan Harga dan Permainan Pasar
Harga BBM di setiap SPBU di Wamena juga bervariasi. APMS di Kama dan Sinapuk menjual BBM dengan harga standar Pertamina, sementara SPBU di Polres Jayawijaya dan Honelama memiliki harga yang lebih tinggi. Bahkan, harga BBM di kios-kios pinggir jalan bisa jauh lebih mahal. Sebagai contoh, harga Pertamax di beberapa pom mini bisa mencapai 18 ribu per liter, yang setara dengan harga eceran. Hal ini memperburuk kondisi masyarakat yang harus membeli BBM dengan harga selangit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pengisian BBM di Kios Pinggir Jalan
Kios-kios BBM yang berada di pinggir jalan di Wamena semakin menjamur. Banyak dari mereka menjual BBM dengan harga jauh lebih mahal daripada harga yang ditetapkan SPBU resmi. Sumber BBM untuk kios-kios ini berasal dari berbagai saluran, termasuk dari antrian di SPBU, pembelian kupon oleh masyarakat asli Papua, dan kerja sama yang tidak transparan antara SPBU dengan oknum-oknum tertentu. Hal ini semakin memperburuk masalah kelangkaan dan harga BBM yang tinggi di Wamena.
Analisis: Kenapa Harus Membeli yang Mahal?
Pembatasan kuota, waktu pengisian, dan sistem antri telah memaksa masyarakat untuk membeli BBM dengan harga yang lebih mahal dari pengecer. Hal ini berdampak besar pada kehidupan ekonomi masyarakat, terutama bagi petani, tukang ojek, dan angkutan umum. Mereka harus membayar harga tinggi untuk BBM, yang tentu saja berpengaruh pada biaya operasional dan harga barang.
Lebih parahnya lagi, permainan harga yang dilakukan oleh oknum penjual BBM di pinggir jalan memperburuk kesulitan ekonomi masyarakat kecil. Dengan harga yang melambung hingga 18 ribu hingga 21 ribu per liter, jelas bahwa banyak pihak yang mengambil keuntungan tidak wajar dari kondisi kelangkaan BBM ini.
Solusi yang Diharapkan
Berdasarkan fakta dan analisis di atas, saya berharap pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Kabupaten Jayawijaya dapat segera mengambil langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah ini. Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain:
Koordinasi dengan APMS di Wamena untuk mengatasi pembatasan kuota pengisian, waktu pengisian, serta masalah harga BBM yang tidak terkontrol.
Koordinasi dengan pihak Pertamina untuk meminta penambahan kuota BBM dan pembukaan APMS baru di beberapa titik strategis di Wamena. Penambahan kuota dan fasilitas ini diharapkan dapat mengurangi kelangkaan dan menurunkan harga BBM di wilayah ini.
Dengan adanya langkah-langkah ini, saya berharap kesejahteraan masyarakat asli Papua dapat tercapai, terutama dengan harga BBM yang lebih terjangkau dan biaya transportasi yang lebih murah. (*)
)* Wakil Ketua II MRP Papua Pegunungan