Wamena, nirmeke.com – Benny Mawel, Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Pegunungan, mengungkapkan bahwa proses seleksi anggota parlemen jalur pengangkatan di 8 kabupaten Provinsi Papua Pegunungan, serta kursi pengangkatan di tingkat provinsi, sudah memasuki tahap akhir.
Namun, di tengah proses tersebut, muncul berbagai rumor dan keluhan dari sejumlah calon legislatif yang mengindikasikan adanya lobi politik untuk menyerahkan tanah adat kepada pemerintah guna pembangunan fasilitas kantor pelayanan publik.
“Saya sangat heran, calon anggota parlemen pengangkatan justru melakukan lobi untuk menggadaikan tanah adat. Padahal, tugas dan kewenangan mereka adalah memperjuangkan hak-hak orang asli Papua, termasuk perlindungan atas tanah adat dari klaim dan perebutan,” ujar Benny Mawel.
Ia menambahkan, ia merasa tidak habis pikir dengan beberapa calon yang, meskipun berkampanye untuk melindungi tanah adat, justru berencana untuk menyerahkan lahan tersebut. Menurutnya, kepemilikan tanah adat di Jayawijaya bersifat komunal, dimiliki oleh klan, marga, konfederasi, aliansi, atau suku, dan bukan secara individu.
“Bila tanah adat adalah milik komunal, bagaimana mungkin janji-janji penyerahan tanah ini akan terwujud? Kita bisa melihat contoh kasus tanah hukum adat masyarakat Welesi yang meskipun sudah ada kesepakatan, namun karena kepemilikan yang bersifat komunal, prosesnya masih penuh pro-kontra. Akibatnya, pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan hingga kini belum terlaksana,” ujar Mawel.
Ia pun menegaskan bahwa pengalaman tersebut harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan tim seleksi anggota DPRK/DPRP untuk tidak mudah percaya dengan janji-janji dari calon yang mungkin hanya mengincar jabatan.
“Janji-janji mereka harus dipertanyakan. Jangan sampai janji itu hanya trik licik untuk merebut posisi yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang memiliki tugas mulia ini,” tandasnya.
Sebagai anggota MRP yang juga merupakan perwakilan agama Katolik, Benny Mawel menambahkan bahwa ia sangat mendukung kampanye “Jaga Keluarga, Jaga Adat, dan Jaga Gereja.” Ia berharap para calon tidak menggadaikan nasib masyarakat adat hanya demi jabatan.
“Tim seleksi harus lebih berhati-hati dan tidak cepat percaya dengan oknum calon yang menawarkan tanah adat demi posisi politik mereka. Jika mereka sudah mulai menggadaikan tanah, bagaimana nantinya setelah mereka menjabat? Tanah adat bisa terancam,” ucap Benny Mawel dengan tegas.
Ia juga menegaskan bahwa orang-orang yang menggadaikan tanah adat tidak layak menduduki jabatan tersebut.
“Mereka yang hanya mencari keuntungan pribadi dengan menjual nasib orang lain tidak layak mengemban amanah sebagai anggota legislatif yang seharusnya memperjuangkan hak-hak orang asli Papua,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Benny Mawel menyampaikan bahwa pembangunan fasilitas umum adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, sebagai bagian dari konsekuensi masyarakat Papua Pegunungan menerima daerah otonomi baru.
Oleh karena itu, MRP, pemerintah daerah, dan parlemen harus bekerja sama membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat adat guna menyepakati lokasi dan pembangunan kantor.
“Pembangunan dapat berjalan dengan lancar jika pemerintah mendekati masyarakat adat secara menyeluruh, bukan hanya melalui individu-individu yang menggadaikan tanah. Dengan mediasi yang baik antara MRP, pemerintah, dan parlemen, saya yakin masyarakat adat akan sepakat memberikan tempat yang layak tanpa merusak tempat keramat mereka,” tutup Benny Mawel. (*)
Pewarta: Aguz Pabika