Oleh: Maiton Gurik
Nies Words, sebuah lembaga yang didirikan oleh Nies Tabuni, seorang anak Papua yang aktif bergerak di dunia konten kreator, telah menjadi wadah edukasi melalui podcast-podcast pendek yang membahas berbagai tema penting. Nies, yang dikenal melalui lensa kameranya, mengundang narasumber terpercaya dan berpengalaman untuk berbagi informasi yang edukatif dan bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun durasi setiap podcast hanya sekitar 20 hingga 30 menit, pesan yang disampaikan tetap mampu menginspirasi banyak orang.
Berbeda dengan banyak YouTuber lainnya, Nies tidak hanya fokus pada pembuatan konten untuk menghasilkan cuan, tetapi lebih mengutamakan penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Setiap podcast yang ia buat selalu berusaha memberikan nilai tambah dalam setiap diskusinya.
Janji yang Ditepati: Diskusi tentang Literasi Papua
Pada 2 April 2025, Nies Tabuni menepati janji untuk mengundang seorang narasumber dalam podcast-nya di Yobhe, Sentani, Jayapura. Dalam diskusi tersebut, tema yang diangkat adalah “Literasi Papua: Tantangan dan Harapan”. Dalam kesempatan ini, saya yang juga aktif dalam dunia pendidikan dan literasi di Papua, berbagi pandangan mengenai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua, khususnya dalam bidang literasi dan pendidikan.
Diskusi berlangsung di Cafe The Heleyo yang terletak di kawasan Danau Sentani, ditemani secangkir kopi Wamena yang disajikan oleh Mace Usy. Kami sepakat untuk membahas permasalahan pendidikan di Papua, yang juga mencakup tantangan yang dihadapi oleh Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah tersebut. Tema literasi menjadi sorotan utama, mengingat rendahnya angka literasi di Papua yang merupakan cermin dari berbagai masalah pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terjauh, dan Terendah).
Krisis Literasi di Papua: Tantangan yang Harus Dihadapi
Masalah literasi di Papua tidak hanya terletak pada rendahnya tingkat kelulusan siswa, tetapi juga pada kemampuan dasar seperti membaca dan menulis yang masih menjadi tantangan serius. Fakta mencengangkan menunjukkan bahwa di beberapa sekolah, siswa kelas 2 SD bahkan belum bisa membaca kalimat utuh. Begitu pula, siswa kelas 4 hingga 6 SD masih menghadapi kesulitan yang sama. Yang lebih memprihatinkan, kemampuan membaca dan memahami teks juga belum dikuasai oleh sebagian besar siswa tingkat SMP dan SMA di Papua.
Fenomena ini mencerminkan adanya krisis literasi yang dapat mengancam masa depan generasi Papua. Salah satu penyebab utama rendahnya literasi adalah tingginya tingkat ketidakhadiran guru. Di beberapa daerah, hanya ada 3 hingga 4 guru yang hadir dari total 11 yang seharusnya hadir. Kesulitan akses transportasi, terbatasnya fasilitas, dan rendahnya insentif bagi tenaga pendidik yang bertugas di daerah terpencil semakin memperburuk kondisi ini.
Selain itu, kurikulum nasional yang diterapkan di Papua sering kali tidak sesuai dengan konteks lokal masyarakat Papua. Kurangnya infrastruktur pendidikan, seperti sekolah, perpustakaan, buku pelajaran, dan fasilitas belajar lainnya, juga menjadi faktor penghambat utama. Di beberapa daerah pedalaman, anak-anak bahkan harus berjalan kaki lebih dari 10 kilometer untuk sampai ke sekolah, melewati medan yang sangat berat.
Saatnya Bergerak Bersama
Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, Nies Words dan timnya sudah mulai bergerak dan berkomitmen untuk terus menggerakkan roda perubahan. Gerakan literasi di Papua bukan hanya menjadi tanggung jawab individu atau lembaga tertentu, melainkan tanggung jawab kita semua. Pemerintah, masyarakat, serta para pegiat literasi perlu bergandengan tangan untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berkualitas.
Pendidikan dan literasi bukan hanya soal anggaran, tetapi juga soal niat, strategi, dan kerja kolaborasi yang berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang mengejar ketertinggalan, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik dan lebih canggih bagi tanah Papua.(*)
Salam Literasi!
)* Pegiat Literasi Papua