Oleh: Ones Suhuniap
Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru menuai kontroversi. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan ini merupakan ancaman terhadap supremasi sipil yang telah diperjuangkan melalui reformasi 1998. Reformasi tersebut, yang menuntut kebebasan dan demokrasi, seakan terkikis dengan langkah pemerintah yang kembali menghidupkan praktik-praktik otoritarianisme.
Polemik di Balik Pengesahan UU TNI
Beberapa kalangan menilai bahwa pengesahan UU TNI ini adalah langkah yang merugikan demokrasi dan kebebasan sipil. Pemerintahan di bawah rezim Prabowo Gibran dikritik keras karena dinilai menggali kembali “kuburan” Orde Baru yang sudah terkubur selama 25 tahun. UU TNI yang disahkan tanpa proses legislasi yang terbuka dan tanpa mendengarkan aspirasi publik ini dinilai penuh dengan intrik politik.
Pergeseran politik ini juga terpantau di parlemen, di mana PDIP sebagai partai oposisi terkesan mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh koalisi merah-putih. Pengesahan RUU TNI dilakukan pada saat isu-isu besar seperti korupsi yang merugikan negara, yang seakan tenggelam begitu saja dengan munculnya RUU tersebut.
Strategi Politik Prabowo Menjelang 2029
Di balik pengesahan UU TNI, ada dinamika politik yang lebih besar terkait persiapan menuju pemilu 2029. Pemerintahan Prabowo Gibran tidak bisa lepas dari pengaruh kekuatan politik lainnya, seperti SBY-AHY, koalisi Solo, dan Megawati dengan PDIP. Setiap kekuatan ini memiliki kepentingannya masing-masing, dan Prabowo dituntut untuk merangkul semua pihak agar posisinya tetap kuat menuju pemilu 2029.
Prabowo harus berhati-hati dalam mengelola kekuatan-kekuatan politik ini, karena ada ancaman terhadap koalisi merah-putih yang bisa pecah kapan saja. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan dukungan untuk kepemimpinan Prabowo, kebijakan-kebijakan strategis seperti pengesahan UU TNI diambil dengan cepat dan terkesan terburu-buru.
Ancaman Terhadap Supremasi Sipil
Salah satu dampak utama dari UU TNI yang baru adalah semakin terbukanya peluang bagi militer untuk mengintervensi urusan sipil, termasuk menduduki jabatan sipil di 16 kementerian. UU ini mengubah sejumlah pasal terkait tugas dan kewenangan TNI, seperti perluasan jabatan sipil untuk prajurit aktif, serta penambahan usia pensiun.
Perubahan dalam Pasal 7 yang mengatur Operasi Militer Selain Perang (OMSP) memperluas kewenangan TNI. Pasal ini sekarang mencakup lebih banyak tugas, termasuk mengatasi ancaman siber dan membantu pengamanan di wilayah perbatasan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya kontrol terhadap kebebasan sipil, karena TNI dapat mengawasi kegiatan warga, terutama di media sosial.
Dampak bagi Rakyat Sipil, Terutama di Papua
Pengesahan UU TNI membawa dampak yang besar, terutama bagi rakyat sipil di Papua. Beberapa pasal dalam UU ini berpotensi mengancam hak-hak demokrasi dan kebebasan warga sipil. Misalnya, dalam Pasal 7 yang mengatur OMSP, TNI kini memiliki kewenangan yang lebih luas, termasuk dalam mengatasi gerakan separatis bersenjata dan pemberontakan bersenjata. Hal ini dikhawatirkan akan memperburuk situasi di Papua, di mana aktivis dan organisasi sipil yang memperjuangkan hak-hak rakyat Papua bisa dituduh sebagai separatis atau teroris.
Selain itu, kebijakan ini dapat memperburuk ketegangan di wilayah perbatasan, seperti di Papua, yang akan semakin terkendali oleh militer. Keputusan ini juga memberikan kekuatan lebih kepada TNI dalam mengamankan objek vital nasional, yang bisa mencakup perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Papua, seperti PT Freeport.
Menjaga Demokrasi dan Kebebasan Sipil
Pengesahan UU TNI tanpa proses legislasi yang transparan dan tanpa ruang bagi partisipasi publik menunjukkan bahwa kebebasan sipil di Indonesia semakin terancam. Praktik otoritarianisme kembali muncul, dengan TNI yang semakin terlibat dalam kehidupan sipil. Hal ini bisa mempengaruhi kebebasan berbicara, hak untuk berorganisasi, dan hak asasi manusia, terutama di wilayah-wilayah yang sudah rentan seperti Papua.
Penting bagi masyarakat untuk tetap kritis terhadap kebijakan ini dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap terjaga. Demokrasi dan kebebasan sipil yang diperjuangkan melalui reformasi 1998 tidak boleh tergerus begitu saja demi kepentingan politik sesaat.
Ancaman Militerisasi: Bukan Sekadar Jumlah Tentara atau Perang
Militerisasi bukan hanya tentang jumlah tentara, baik yang bersifat organik maupun non-organik, atau seberapa banyak senjata yang dimiliki. Militerisasi lebih kepada pengendalian sistem secara struktural, serta kontrol dan fungsi dalam kebijakan publik. Ini tentang bagaimana kekerasan, kontrol, eksploitasi, dan penindasan dilembagakan dalam kehidupan masyarakat.
Dari perspektif kiri, militerisme dianggap sebagai alat kapitalisme, imperialisme, feodalisme, dan patriarki yang memperpanjang penindasan, yang harus dilawan. Perlawanan terhadap militerisme adalah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan bebas dari ketidakadilan. Seperti yang dikatakan oleh Angela Davis, “The guns are not only for war abroad but also for control at home.”
Perlawanan terhadap militerisme adalah kritik terhadap narasi militer yang sering kali diterima begitu saja, terutama ketika disamarkan dengan dalih pembangunan dan keamanan, yang sering kali hanya melanggengkan keserakahan dan eksploitasi. Semua pihak harus terlibat dalam perlawanan ini, karena anggaran rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan sering kali dialihkan untuk membiayai militer, sementara yang menderita adalah rakyat sipil.
Pemahaman kritis terhadap militerisme harus didorong, dengan menekankan bahwa negara seharusnya berfungsi untuk melindungi rakyat. Tentara dan polisi adalah alat negara, bukan untuk menindas rakyat.
Menentang Normalisasi Militerisasi dalam Kehidupan Sipil
Melawan glorifikasi militer di masyarakat adalah hal yang sangat penting. Pendidikan kritis berbasis budaya harus ditekankan untuk memanusiakan manusia. Militerisme, khususnya di Papua, telah menjadi alat kontrol terhadap aktivitas warga sipil, menciptakan kondisi darurat sipil yang berkelanjutan. Ini melahirkan kekerasan struktural berbasis rasial, diskriminasi, dan imunitas yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.
Operasi militer, baik terbuka maupun tertutup, sering kali melibatkan kekerasan fisik dan psikis, menciptakan trauma bagi masyarakat. Militer kini mengendalikan pekerjaan sipil dan bertindak sebagai pelindung bagi oligarki serta pengawas eksploitasi sumber daya alam.
Penyalahgunaan Kekayaan Alam dan Penindasan Masyarakat Adat
Masyarakat adat sering kali hanya menjadi penonton ketika kekayaan alam mereka dieksploitasi. Tanah mereka dirampas oleh perusahaan besar, sementara militer melindungi kepentingan korporasi. Protes dari orang Papua sering kali disikapi dengan kekerasan, dengan dalih bahwa tanah, hutan, udara, laut, dan kekayaan alam lainnya adalah milik negara.
Militerisme menciptakan diskriminasi rasial dan kekerasan berbasis ras. Ini juga memperburuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah meningkat secara signifikan di Papua.
Gerakan Perlawanan terhadap Militerisme
Perlawanan terhadap militerisme bukanlah hal baru. Di seluruh dunia, gerakan anti militer dan anti perang telah melawan kolonialisme dan kapitalisme. Contoh seperti gerakan anti-militerisme di Vietnam yang melawan kolonialisme Perancis dan kapitalisme Amerika Serikat, atau gerakan sosial Palestina yang melawan invasi militer dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Rusia, menunjukkan pentingnya perjuangan ini.
Kritik terhadap anggaran rakyat yang digunakan untuk membiayai militer yang terus menyengsarakan rakyat harus dilakukan. Demiliterisasi, baik terhadap polisi sebagai pelindung rakyat maupun terhadap militer yang terlibat dalam eksploitasi, menjadi bagian penting dari perjuangan ini. Konsolidasi untuk membangun jaringan internasional anti militerisme dan perang imperialisme adalah langkah penting dalam menciptakan dunia yang lebih manusiawi.
Militerisme dan Dampaknya terhadap Ketimpangan Gender
Militerisme tidak hanya berdampak pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga memperburuk ketimpangan gender. Dalam wilayah konflik seperti Papua, kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan meningkat. Banyak tentara yang terlibat dalam kekerasan seksual di wilayah perang, dan ini memperburuk kondisi perempuan di daerah konflik.
Di Papua, kekerasan terhadap perempuan telah melibatkan pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Militer sering kali tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hak-hak perempuan, dan karakter patriarkal dalam militer justru memperburuk kondisi ini. Dominasi maskulinitas dalam struktur militer dan pemerintah menyebabkan eksklusi perempuan dalam pengambilan keputusan, membatasi ruang politik dan hak berekspresi mereka.
Militerisme di Papua dan Ancaman terhadap Orang Asli Papua
Dampak militerisme di Papua sudah sangat nyata. Sejak disahkannya UU TNI, Papua menjadi salah satu wilayah yang paling terancam. Dengan adanya UU ini, militer kini memiliki ruang lebih luas untuk beroperasi, yang berpotensi memperburuk kekerasan terhadap orang asli Papua.
Kekerasan fisik, diskriminasi rasial, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akan semakin meningkat. Pembangunan yang diklaim sebagai kesejahteraan rakyat sering kali justru memperburuk ketimpangan dan menambah penderitaan. Masyarakat adat di Papua, yang sudah lama hidup dalam ketidakpastian, semakin terpinggirkan dalam skenario ini.
Kesimpulan: Ancaman Militerisme terhadap Masa Depan Papua
Dengan diberlakukannya UU TNI, orang asli Papua kini menghadapi ancaman besar. Demokrasi mereka terancam dibungkam, hak atas tanah dan sumber daya alam mereka terampas, dan militer akan semakin mengontrol kehidupan mereka. Pemerintah harus menyadari bahwa hal ini berpotensi menyebabkan genosida, ekosida, dan etnosida terhadap orang asli Papua.
Papua harus menjadi perhatian serius. Semua pihak harus bersatu untuk menolak kebijakan pemerintah yang hanya akan memperburuk keadaan. Tanpa perlawanan yang solid, masa depan orang asli Papua di bawah pemerintahan yang semakin militeristik ini sangatlah gelap. (*)
)* Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat