Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 14-15 Maret 2025 di Jakarta membawa dampak signifikan bagi kehidupan sipil di wilayah rawan konflik, termasuk Papua. Salah satu perubahan penting dalam UU TNI yang baru adalah penetapan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang kini bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Langkah ini semakin memperkuat peran militer dalam mengelola urusan sipil, dan salah satu dampaknya adalah meningkatnya stigma terhadap tenaga kesehatan (nakes) dan guru yang bertugas di daerah-daerah konflik di Papua.
Nakes dan guru yang selama ini menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan pendidikan dan kesehatan di Papua kini kian dicurigai sebagai “mata-mata militer”. Meskipun tugas mereka semata-mata untuk membantu masyarakat yang terjebak dalam ketegangan konflik, peran mereka semakin dipandang dengan kecurigaan. Tuduhan ini semakin menguat setelah disahkannya UU TNI yang memperluas keterlibatan militer dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di tengah ketegangan yang terus berlangsung di Papua, nakes dan guru sering kali harus bekerja dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka memberi bantuan medis kepada yang terluka dan mengajar anak-anak di tengah keterbatasan, tanpa pamrih. Namun, kini mereka dihadapkan pada ancaman baru: dipandang sebagai bagian dari agenda militer Indonesia. Ini adalah konsekuensi langsung dari kebijakan yang semakin memperkuat keterlibatan militer dalam sektor sipil, sebuah langkah yang berpotensi memperburuk ketegangan sosial di Papua.
Penting untuk dicatat bahwa stigma ini tidak hanya merugikan nakes dan guru, tetapi juga masyarakat Papua yang sangat bergantung pada layanan mereka. Tuduhan sebagai “mata-mata” berpotensi merusak hubungan yang telah dibangun dengan penuh kesulitan antara tenaga medis, pendidik, dan komunitas lokal. Ini juga menciptakan iklim ketidakpercayaan yang hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada.
Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah untuk melindungi nakes dan guru yang bekerja di daerah-daerah konflik. Perlindungan ini harus mencakup kejelasan peran antara militer dan sektor sipil. Tanpa adanya pembatasan yang jelas antara peran militer dan tugas-tugas sipil, pengabdian nakes dan guru akan semakin dipertanyakan, dan hasil akhirnya adalah ketidakstabilan lebih lanjut di Papua.
Di sisi lain, pemerintah harus mempertimbangkan untuk meninjau kembali penguatan militer di sektor-sektor sipil, seperti yang tercantum dalam revisi UU TNI. Tentu saja, menjaga keamanan dan menangani ancaman separatisme adalah hal yang penting, namun kita juga harus memastikan bahwa keberadaan nakes dan guru di daerah rawan konflik dihargai dan dilindungi, bukan dicurigai.
Papua membutuhkan lebih banyak jembatan perdamaian, bukan lebih banyak pemisah. Dalam upaya menjaga perdamaian dan kesejahteraan di Papua, kita harus memastikan bahwa tenaga medis dan pendidik bisa bekerja dengan aman dan dihormati, tanpa merasa terancam atau dicurigai. Hanya dengan cara ini kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi Papua dan Indonesia secara keseluruhan.
Revisi UU TNI memberikan dampak yang besar terhadap nakes dan guru di Papua. Tuduhan sebagai mata-mata militer semakin kuat, yang tidak hanya membahayakan mereka secara fisik tetapi juga mengganggu hubungan mereka dengan masyarakat. Pemerintah harus segera memastikan perlindungan dan kejelasan peran dalam sektor sipil untuk menghindari ketegangan lebih lanjut di Papua. (*)