Oleh: Ones Suhuniap
Tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap para pelajar yang berdemonstrasi di Papua mendapat sorotan tajam. Demonstrasi damai yang digelar oleh pelajar di berbagai daerah di Papua, seperti di Jayapura, Yalimo, Nabire, dan Timika, berfokus pada tuntutan pendidikan gratis serta fasilitas pendidikan yang layak. Namun, aksi tersebut dihadang oleh kepolisian dengan cara membubarkan secara paksa dan melakukan penangkapan terhadap para pelajar.
Sejumlah pihak menilai bahwa langkah tersebut bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencederai demokrasi di Papua. Dalam aksi tersebut, para pelajar menyuarakan keprihatinan mereka terkait kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan pendidikan mereka. Mereka menuntut pendidikan yang lebih layak dan akses pendidikan gratis, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh orang asli Papua.
Propaganda dan Pengalihan Isu oleh Kepolisian
Tuduhan yang muncul dari pihak kepolisian, khususnya Kapolres Kota Jayapura, yang menyebut bahwa Organisasi Papua Merdeka (KNPB) terlibat dalam penghasutan, dinilai sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama. Menurut sejumlah pihak, tuduhan tanpa bukti ini merupakan bagian dari strategi untuk menciptakan opini publik yang negatif terhadap KNPB, dan sekaligus menutupi kekurangan dan kesalahan aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi tersebut.
Pernyataan yang disampaikan oleh pihak kepolisian dianggap tidak objektif dan berbau subjektif, yang dapat memicu kebencian dan sentimen negatif terhadap kelompok tertentu. Bahkan, beberapa pihak menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk propaganda untuk melindungi institusi negara dan aktor yang dianggap terlibat dalam tindakan represif.
Pelanggaran Hukum oleh Kepolisian
Dalam konteks hukum, tindakan kepolisian yang memukul, menangkap, dan membubarkan para pelajar dianggap sebagai pelanggaran terhadap beberapa undang-undang yang berlaku. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, serta KUHP Pasal 351 tentang penganiayaan.
Lebih lanjut, tindakan polisi yang membatasi hak pelajar untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum, seperti yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, juga mendapat kecaman. Sejumlah aktivis menilai bahwa pembubaran paksa terhadap demonstrasi damai ini menunjukkan ketidakmampuan aparat dalam menjalankan tugas mereka sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Pendidikan Gratis untuk Rakyat Papua: Tuntutan yang Sah
Tuntutan para pelajar mengenai pendidikan gratis dinilai sangat rasional. Mayoritas masyarakat Papua, terutama yang berasal dari suku asli, hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Data menunjukkan bahwa sekitar 90% penduduk asli Papua tergolong miskin, sementara kekayaan alam daerah tersebut justru dikuasai oleh pihak luar. Hal ini menjadikan tuntutan pendidikan gratis sebagai hak konstitusional yang layak dipenuhi oleh pemerintah.
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, diharapkan pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat, termasuk dalam hal pendidikan. Namun, kebijakan yang diterapkan selama ini, khususnya terkait pendidikan, masih jauh dari harapan masyarakat Papua.
Aksi Mahasiswa di Papua dan Jakarta
Demonstrasi yang dimulai pada 4 Februari 2025 di Yahukimo dan berlanjut di Wamena, Jayapura, Timika, dan beberapa daerah lain di Papua, juga diikuti oleh aksi serupa di Jakarta pada 17-20 Februari 2025. Para pelajar menuntut agar kebijakan pendidikan yang lebih berpihak pada mereka segera diterapkan.
Tuntutan mereka bukan hanya soal makanan bergizi gratis, namun juga berkaitan dengan kualitas pendidikan dan fasilitas yang memadai untuk anak-anak Papua. Mereka juga mendesak agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang lebih menguntungkan pihak luar, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan rakyat Papua.
Rekomendasi untuk Tindakan Kepolisian
Mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, tindakan kepolisian yang membubarkan aksi pelajar dianggap melanggar hukum. Oleh karena itu, sejumlah pihak mendesak agar Polda Papua segera memecat beberapa Kapolres yang terlibat dalam tindakan represif tersebut. Selain itu, para pelajar juga berharap agar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua segera merealisasikan tuntutan mereka terkait pendidikan gratis.
Aksi demo damai pelajar ini seharusnya didukung dan dijaga oleh aparat, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai regulasi terkait kebebasan berpendapat dan hak pendidikan. (*)
)* Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB)