Oleh: Whens Fatubun
Buku ini adalah proyek disertasi PhD dari Yulia Sugandi yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun lalu (2024). Buku ini memberi informasi etnografi yang rinci dan kaya mengenai orang Hubula di lembah Palim. Buku ini pantas dibaca sebagai pengantar untuk mendalami manusia dan kebudayaan Hubula di Papua.
Bab pertama (halaman 1 – 16) dari buku ini menguraikan tentang teori pembangunan ekonomi yang dilihat dari perspektif ekonomi dan antropologi. Hilmar Farid dengan baik menyimpulkan dengan uraian tentang pembangunan tidak mungkin berjalan dengan konsep sempit homo economicus yang menjadi teori pembangunan yang dominan (halaman xvi). Aspek antropologi punya peran penting dalam pembangunan. Kesan saya, bab pertama ini, Sugandi hendak memberi pendasaran bahwa aspek indigenous knowledge memiliki peran sentral dalam menghadapi teori pembantuan dominan yang berorientasi pada manusia sebagai makhluk ekonomi yang bersandar pada pemenuhan kebutuhan dengan pola untung atau rugi.
Bab-bab selanjut, Sugandi menguraikan manusia dan kebudayaan Hubula dengan data-data etnografi yang kaya dan informatif.
Yang menarik dari buku ini adalah sebutan “Palim” diperkenalkan untuk menggantikan sebutan “Baliem” sebagai nama lembah yang didiami oleh orang Hubula. Sugandi menulis: “Sejak awal kedatangan mereka, berbagai orang luar telah memberi nama pada kawasan-kawasan dataran tinggi, termasuk Lembah Palim dan penduduknya. Penamaan oleh pihak luar pada hakikatnya mencerminkan hubungan kekuasaan…orang luar menamakan lembah terbesar di Jayawijaya itu Lembah Besar atau Lrmbah Baliem atau Balim, bukan Lembah Palim, nama lokalnya.” (Halaman 41-42). Saya membaca hingga akhir dengan satu pertanyaan penasaran: Siapa orang luar pertama yang beri nama Baliem? Pertanyaan saya tidak ditemukan dalam buku Sugandi ini.
Pertanyaan lain lagi: mengapa dalam “Kata Sambutan”, Hilmar Farid menggunakan “Balim” dan bukan “Palim”? Apakah Hilmar menggunakan sebutan “Balim” untuk merepresentasi sebutan orang luar?
Hal menarik kedua adalah penggunaan “orang Hubula” dan bukan “orang Dani”. Pada bab dua (halaman 17 – 31) dan bab tiga (halaman 32 – 53), Sugandi menyebut “Dani” beberapa kali. Pada halaman 25, Sugandi beri informasi mengenai tiga rumpun bahasa di Lembah Palim Dani Lembah atas, Dani Lembah tengah, dan Dani Lembah bawah. Ini memunculkan pertanyaan: orang Hubula itu masuk dalam rumpun bahasa yang mana? Lalu nama “Dani” itu asalnya darimana? Diganti tidak beri penjelasan yang tegas mengenai “Dani” dan “Hubula”.
Hal menarik yang ketiga adalah pengalaman Sugandi sebagai peneliti yang meneliti orang Hubula. Sugandi menghabiskan bulan pertama untuk melakukan penyesuaian diri agar tidak menimbulkan prasangka aparat pemerintah dan anggota masyarakat (halaman 46); Ada rasa ketakutan sebagai orang luar yang meneliti orang Hubula (halaman 47); dan rokok sebagai bahan kontak dalam menjalin hubungan dengan masyarakat Hubula yang ditelitinya. Pengalaman Sugandi memperlihatkan sesuatu yang umum dilakukan oleh para peneliti (antropolog).
Sebagai pembaca, saya berharap menemukan sesuatu yang unik dan baru dari pengalaman Sugandi, misalnya bagaimana mengikuti protokol orang Hubula dalam memproduksi pengetahuan. Bagi saya, protokol adat itu penting, karena ada pertanyaan kekaguman saya terhadap informasi etnografi Hubula yang diuraikan dengan baik oleh Sugandi pada bab empat hingga bab tujuh. Sugandi sebagai peneliti Indonesia (orang luar) dan perempuan dapat masuk ke dalam “pusat” orang Hubula bahkan hingga ke dalam hal-hal yang sensitif. Bagaimana Sugandi bisa masuk ke dalam sensitifitas Hubula? Apa resepnya? Menarik jika Sugandi menguraikannya dan pasti jadi sumbangan berharga bagi para peneliti utk mengikuti protokol masyarakat adat dalam penelitiannya.(*)