Oleh: John pakage
Saat pertama kali tiba di New Zealand, saya dikejutkan oleh budaya makanan mereka yang unik, terutama di komunitas tradisional Maori. Di beberapa daerah, ubi manis atau kumara, yang sering disebut sweet potato, bukan hanya makanan pokok, tetapi juga bagian dari tradisi dan kebiasaan yang dihormati.
Saya tinggal bersama keluarga lokal Maori selama beberapa minggu untuk merasakan kehidupan mereka secara langsung. Mereka menjelaskan bahwa kumara telah menjadi makanan pokok masyarakat setempat sejak nenek moyang mereka membawa tanaman ini dari Polinesia. Kumara tidak hanya dianggap sebagai sumber energi, tetapi juga simbol rasa syukur atas hasil bumi.
Setiap kali makan bersama, selalu ada kumara di meja. Hidangannya bervariasi—kadang dipanggang, direbus, atau dijadikan sup. Dalam tradisi mereka, makan tanpa kumara dianggap tidak lengkap. Bahkan ada aturan tidak tertulis: setiap orang wajib mencicipi kumara dalam setiap hidangan sebagai bentuk penghormatan pada leluhur.
Saya masih ingat suatu malam ketika mereka mengadakan hangi, yaitu cara memasak tradisional dengan mengubur makanan di tanah bersama batu panas. Ubi manis menjadi bintang utama hidangan, disajikan bersama daging dan sayuran lainnya. Rasanya lembut, manis alami, dan penuh dengan aroma khas tanah—benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.
Awalnya, saya sesuatu yang berbeda karena harus mengikuti aturan makan ubi manis setiap hari. Namun, lama-kelamaan saya memahami maknanya. Ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang menghormati budaya, tradisi, dan hubungan mereka dengan alam.
New Zealand mengajarkan saya, melalui ubi manisnya, bahwa makanan adalah bagian penting dari identitas suatu bangsa. Kumara bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang sejarah, kebanggaan, dan rasa kebersamaan. Dan, di setiap suapan kumara, saya merasa semakin terhubung dengan semangat dan jiwa masyarakat Maori.
Siapapun anda dari negara mana saja jika tiba di New Zealand wajib makan petatas (kumara), nota ( bahasa Mee). (*)