Oleh: Benyamin Lagowan
Sistem Perkawinan adat (He Ugumo) di Lembah Baliem memiliki serangkaian ritual dan simbolisme dalam seluruh rangkaian upacaranya. Meski mungkin ada kesamaan dengan ritus upacara perkawinan di sejumlah suku di tanah Papua, ada satu momentum dimana sang mempelai wanita akan didudukan di halaman rumah dengan sejumlah besar noken di kepala sebelum akhirnya diserahkan kepada pihak keluarga mempelai pria yang datang menjemput.
Mungkin banyak pihak terutama di luar dari suku Huwula sering bertanya apa dan mengapa setiap mempelai wanita dalam acara-acara perkawinan adat orang Huwula di Lembah Baliem Wamena selalu dipakaikan sejumlah banyak noken dikepala setiap mempelai wanita. Dan juga barangkali belum mengetahui maksud dari pemakaian sejumlah besar noken itu.
Secara garis besar, prosesi acara nikah adat seorang mempelai wanita meliputi: masa persiapan, acara, penutupan. Bagian masa persiapan meliputi: pemberitahuan akan dilakukannya acara perkawinan (bisa berupa nikah adat masal), persiapan alat dan bahan bakar batu, penentuan pihak saudara/i perempuan untuk memberi makan sang mempelai wanita. Bagian terakhir ini biasanya sudah jelas pihak mana saja yang akan kasih makan sang mempelai wanita sesuai hubungan adat dimana selanjutnya pihak ini akan disebut sebagai om (Amilak/agosalak) dari keturunan kedua mempelai itu kelak.
Bagian acara meliputi: pemberian sumbangan dan acara bakar batu wam, malam kunjungan pihak keluarga mempelai pria untuk menyanyi dan dansa (Etaima-He Ugumo), ritual upacara penyerahan sang mempelai Wanita setelah penjemputan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki. Pada bagian penutupan yakni dilakukan bakar batu wam, umbi dan sayuran bersama untuk sisa² potongan dari acara inti sekaligus penutupan. Sesaat sebelumnya atau bersamaan acara puncak nikah, biasanya dilaksanakan acara pembagian wam dan noken hasil pembayaran maskawin diinternal keluarga dan sanak saudara sang mempelai wanita.
Sementara itu di bagian pihak mempelai pria pun akan dilakukan acara nikah adat dengan prosesi berikut: persiapan, acara bakar batu wam dan acara penjemputan pengantin serta penutupan. Dalam acara persiapan biasanya didahului dengan pembahasan internal untuk biaya maskawin. Setiap anggota keluarga se honai adat dari pihak pria akan sumbang wam serta noken (khusus perempuan/ibu-ibu) untuk mas kawin. Setelah itu akan dilakukan penyerahan maskawin ke rumah pihak wanita. Bisa juga pihak wanita akan mengambil di rumah pihak pria. Total jumlah maskawin babi (wam) dalam budaya suku Hubula saat ini adalah 5-7 ekor babi. Selain Babi saat ini bisa juga dalam bentuk uang. Itupun relatif masih disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga pihak pria.
Selanjutnya akan dilakukan persiapan alat dan bahan acara bakar batu. Di waktu acara, selain bakar batu, biasanya para wanita dan anak-anak akan hias diri mereka dengan penuh sukacita dan riang gembira untuk menjemput pengantin baru. Setelah masakan bakar batu dibuka, keluarga dan sanak saudara mempelai pria sambil dansa dan menari akan membawa sejumlah daging babi masak ke rumah mempelai wanita dimana di saat bersamaan pihak mempelai wanita juga sedang acara dan menunggu penjemputan.
Iring-iringan pihak pria akan menggunakan kendaraan atau berjalan kaki bila rumah pengantin berada tidak jauh dari rumah pengantin pria. Dalam perjalanan, biasanya para iring-iringan akan terus menyanyi, berdansa, ‘hunike’ atau lari bolak balik berteriak kegirangan serta berlari sambil mengucapkan pesan-pesan kegembiraan melalui syair lagu atau teriakan suara.
Setelah tiba di rumah pengantin wanita, pihak mempelai pria akan menari sambil menyanyi kegirangan sebentar, setelah dilakukan ritual penyerahan mempelai wanita yang sudah diarahkan duduk di halaman. Saat inillah biasanya rasa haru, bahagia, sedih dan rasa kehilangan sering dialami pihak keluarga mempelai Wanita.
Ungkapan penyerahan dari pihak keluarga mempelai wanita kepada mempelai pria biasanya disertai dengan tangisan karena dengan itu dan sejak itu, sang anak perempuan akan menjadi bagian integral dari kehidupan keluarga pihak laki-laki. Mati dan hidup anak perempuan sepenuhnya telah menjadi tanggung jawab sang suami. Ia akan menjadi anggota keluarga baru di keluarga sang suami dan bersatu secara adat budaya, spritual, psikologis dan fisik dengan sang suami beserta keluarganya.
Setelah ritual penerimaan sang pengantin Wanita oleh keluarga inti mempelai pria selanjutnya setelah makan bersama, maka akan dilanjutkan dengan menyanyi dan dansa sambil waita atau wisisi tradisional. Setelah itu semua babi, noken yang telah dipakaikan dikepala sang Wanita akan di bawah menuju ke rumah pihak mempelai pria. Disana di sepanjang jalan mereka akan dansa kegirangan karena telah mendapatkan seorang anggota keluarga baru, sumber kehidupan dan penopang sekaligus mama untuk penentu keturunan marga klen sang pria.
Dengan demikian secara umum makna penyematan sejumlah besar noken di kepala para wanita dalam upacara perkawinan adat suku Huwula memiliki sejumlah makna yang disadari berikut:
1. Kesiapan sang Wanita melahirkan dan merawat anak-anaknya kelak
2. Kesiapan sang wanita memikul noken sebagai pusat menyimpan makanan dan pengaturan ekonomi keluarga
3. Sebagai wujud kesiapan sang wanita memikul tanggung jawab sosial budaya di klen
4. Sebagai wujud kematangan fisik dan psikis sebagai seorang istri/ibu
5. Sebagai wujud kesiapan istri melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri.
Dalam sistem perkawinan adat di masa silam ada suatu upacara inisiasi untuk kaum perempuan ketika seorang gadis perempuan beranjak dewasa dari anak-anak. Biasanya dilakukan saat sang gadis mendapatkan masa Haid pertama. Sang gadis biasanya dilmuri becek dan dilakukan serangkaian ritual tertentu. Para orang tua sudah mengetahui simbol atau peralihan masa remaja ke dewasa awal dari terjadi haid pertama (menarche) dan sejumlah tanda-tanda pubertas. Dengan itu mereka para wanita mulai mendapatkan arahan dan bimbingan dari para orang tua mereka (para ibu) tentang kesadaran masa peralihan menuju kedewasaan. Disini diajarkan tentang seks, tanggung jawab sebagai calon ibu, pekerjaan sosial budaya serta keterampilan bertani, menganyam, memelihara ternak, memasak dll. Tapi ritual semacam itu sudah tidak ada lagi saat ini.
Perubahan sosial budaya akibat lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta modernitas membuat sejumlah pranata sosial budaya yang ada pada Suku Hubula di Lembah Baliem lambat lain ditinggalkan. Semoga kita sebagai generasi muda, mampu memahami seluruh nilai, praktik dalam kebudayaan kita agar tidak serta merta hancur dan sirna digusur kemajuan dan modernitas bak pedang bermata dua dewasa ini.
Tulisan ini adalah hasil pengamatan emik sebagai anak asli Baliem dari suku Hubula. Bila ada kesalahan dan kekeliruan dalam menjelaskan konteks tulisan ini, maka masukan dan saran konstruktif dari pembaca yang budimana sangat diharapkan. Meski masih jauh dari sempurna, menulis demi melestarikan adat istiadat dan budaya kita adalah mulia. Lebih baik mencoba menulis daripada tidak sama sekali sehingga praktik dan nilai kehidupan kebudayaan kita tidak sirna ditelan waktu. (*)