Oleh: Nomen Douw
Sa lihat sa pu diri di cermin dengan tatapan kosong. Di depan cermin, sa pu wajah tampak lebih pucat dari hari kemarin, meski garis tipis sudah menyamar garis-garis lelah yang su mulai menggaris sa pu wajah.
Tangan kanan secara otomatis menyentuh bagian bawah perut, di rahim yang seharusnya simpan harapan akan kehidupan baru. Tapi, harapan itu sekarang terasa jauh dan tidak terjangkau.
“Apa yang salah deng sa pu tubuh ini?” pikir sa dalam hati.
Sa tidak pernah membayangkan kalau sa akan hadapi kenyataan seperti ini. Patah hati karena gugur, luka yang tak kunjung sembuh, dan sekarang, diagnosis yang membuat terdiam—tumor dalam sa pu kandungan. Penyakit yang jarang terjadi, tapi cukup mengerikan. Dokter jelaskan kalau tumor itu bisa jadi karena gagal hamil. Lebih buruk lagi, tumor itu bisa bikin sa mandul. Tapi tidak, sa pu doa. Sa percaya sa pu Tuhan. Tuhan akan berikan sa anak seperti perempuan lain.
“Dok sarankan saja untuk ko jalani operasi saja,” kata dokter beberapa hari yang lalu. Suara dokter masih terdengar di sa pu telinga, seperti gema yang tidak bisa hindari.
“Kalau ko biarkan, tumor akan besar dan pengaruhi organ-organ lain nanti.” lanjut Ibu Dokter.
Sa tidak tahu apa yang harus sa rasakan. Di satu sisi, sa merasa takut sekali. Takut operasi yang harus dilaluinya. Takut sa pu masa depan gelap, tanpa ada anak yang pernah sa impikan seperti sa pu teman-teman perempuan mereka. Tapi, di sisi lain, sa merasa kecewa—kecewa karena sa pu tubuh yang dulu sehat dan penuh energi, sekarang jadi penghalang besar dalam sa pu perjalanan hidup.
Sa ingat, beberapa tahun yang lalu, sa ingin punya anak, Feri, teman kantor, dia sering bicara tentang dia pu anak-anak. Sa bayangkan bagaimana rasa jadi orang tua, mendengar tawa riang anak-anak di rumah, merawat buah hati bersama cinta. Tapi, kenyataan berkata lain. Setiap bulan, sa pu harapan untuk mendapatkan anak semakin pudar. Dan sekarang, dengan tumor itu, semuanya terasa seperti mimpi yang hancur. Sa bercinta dengan banyak laki-laki untuk memiliki anak tapi belum terjadi. Tidak ada apa-apa.
“Ko harus kuat,” kata Desi saat kami berdua duduk di ruang keluarga malam itu, berbicara tentang pilihan-pilihan yang mereka hadapi.
“Apa pun yang terjadi, sa akan selalu di sini untuk ko.” lanjut Desi.
Namun, meski kata-kata itu menenangkan hati, sa merasa ada kekosongan yang semakin dalam. Bagaimana jika tumor itu membuat benar-benar sa tidak bisa punya anak? Bagaimana kalau seluruh dunia ini hanya memberinya penantian yang sia-sia?
Sa mencoba untuk tetap tegar. Siska sudah banyak berkorban untuk sa, dan sa merasa tak ingin mengecewakan. Sa tahu, jika kami berdua bisa melalui ini bersama, kami akan lebih kuat. Tetapi, perasaan takut itu tetap ada—takut akan masa depan yang tak pasti, dan takut akan kehilangan kemampuan untuk menjadi ibu yang memiliki anak-anak.
Hari-hari setelahnya, sa menjalani serangkaian tes dan prosedur medis untuk persiapan operasi. Rasa cemas itu terus menghantui setiap langkah sa. Namun, satu hal yang selalu menguatkannya adalah sa pu doa. Doa agar sa pu tubuh bisa sembuh, doa agar Tuhan memberinya kesempatan untuk merasakan menjadi seorang ibu.
Operasi pun akhirnya dilaksanakan. Sa tidak tahu berapa lama waktu berlalu sejak sa dibawa ke ruang operasi, tetapi ketika sa terbangun, Siska sudah ada di samping sa, memegang sa tangan erat-erat.
“Semua sudah selesai,” kata Siska dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
“Ko baik-baik saja.” Lanjut Siska.
Sa menatap wajah Siska, sa masih terbungkus dalam rasa bingung dan lelah. “Apa… apa sa masih bisa punya anak?” Kata sa.
Siska mengangguk, mata berkaca-kaca. “Dokter bilang kita masih punya peluang. Tumornya sudah diangkat, dan ko bisa mencoba lagi.”
Sa pu air mata menetes, bukan karena rasa sakit, tetapi karena harapan yang perlahan-lahan kembali muncul. Meskipun kami pu jalan masih panjang, dan meskipun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, satu hal yang pasti: Sa tidak akan menyerah.
Sa dan Siska akan berjuang bersama, menghadapi segala kemungkinan dengan cinta dan harapan yang tak pernah padam.
Dan di tengah segala kesulitan itu, sa tahu bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk terus berharap, meski dunia terasa seolah runtuh di sekitarnya. Ternyata sa tidak hamil dan memiliki anak karena sa dan Siska adalah pasangan lesbi. Kami dua hanya menikmati sentuhan.
(Kedai, 2024)