Oleh: Suara Kaum Awam Katolik Papua
Pada akhir September lalu, Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC mendukung penguasa dan perusahaan agar Program Strategis Nasional (PSN) di Kampung Wanam dan Wogekel, Distrik Ilwayab, Merauke, Papua Selaatan. Dukungan Uskup sebagai tokoh publik ini kami menilai sama halnya dengan “menjual tanah atas nama gereja Katolik” kepada penguasa dan perusahaan.
Uskup menggunakan tahta keuskupan dan kewenangannya sebagai Uskup dan pemimpin gereja Katolik untuk memberikan legitimasi kepada penguasa dan perusahaan tanpa mempertimbangkan suara hati nurani umatnya. Mandagi seharusnya mengakui Paus Fransiskus yang mengajak umat manusia di dunia untuk melawan ancaman pemanasan global.
Hak dan Kewajiban Gereja Katolik
Harus dipahami, bahwa Gereja Katolik tidak punya hak untuk bicara tanah adat disini. Tapi mempunya kewajiban moral untuk berbicara, bahkan membelah hak-hak umat manusia manapun, termasuk di Kampung Wanam dan Ilwayab yang juga merupakan basis gereja Katolik disa.
Uskup Mandagi sebagai pemimpin gereja Katolik sekalipun tidak memiliki garis darah dan keturunan apapun dengan umat lokal disini, kecuali melalui hirarki gereja Katolik. Karena itu, Uskup Mandagi memiliki tanggung jawab moral kepada penguasa, perusahaan dan umat lokal, akan tetapi tidak mempunyai hak apapun untuk melakukan kompromi apapun atas hak-hak dasar masyarakat adat.
Umat disini juga tidak pernah memberikan legitimasi kepada Uskup Mandagi agar dia memberikan legitimasi kepada penguasa dan perusahaan untuk hilangkan sumber kehidupan masyarakat yang melekat pada tanah dan hutan adat. Legitimasi Mandagi ilegal karena berada di luar otonomi personal dan otonomi gereja Katolik.
Uskup berbicara tentang PSN atas nama kemanusiaan universal, bahkan demi kepentingan bersama (bonnum commune). Namun, tanpa melakukan riset lebih dahulu. Karena itu pernyataannya menjadi kekring, tidak berbobot dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dampak Legitimasi Uskup Mandagi
Secara de facto memang legitimasi Uskup ini memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan publik. Penguasa dan perusahaan paham pada posisi ini. Mandagi memnfaatkan gereja untuk mengakui niat penguasa dan perusahaan, namun melukpan hak-hak, nasib dan masa depan umatnya.
Pengakuan Uskup terhdap PSN ini memiliki manfaat ganda. Satu sisi menguntungkan elit politik lokal, nasional, bahkan Uskup Mandagi sendiri. Tetapi di lain pihak, masyarakat adat juga umat Katolik di Kampung Wanam, dan Wogekel merasa dirugikan.
Umat mulai tidak percaya Mandagi, bakal Gereja Katolik di Tanah Papua, khususnya Keuskupan Agung Merauke. Sebab dukungan Uskup ini sangat melukai hati dan perasaan umat. Uskup hanya pro pada orang yang punya jabatan dan uang besar, tapi mengabaikan orang yang lemah dan taak berdaya, juga yang membutuhkan kasih sayang dari seorang gembala.
Wajah Baru Gereja Katolik Papua
Pernyataan Uskup Agung Merauke ini memperlihatkan wajah gereja Katolik di Tanah Papua yang baru. Jarang para misionaris dan pemimpin sebelumnya mengeluarkan stagmen kontroversial seperti itu, walaupun bertemu dengan sejumlah pihak terkait lainnya.
Mandagi membuka pintu gereja bagi penguasa dan perusahaan selebar-lebarnya guna menjalin relasi atas nama kemaanusiaan, kesejahteraan, kemakmuran, pembangunan dan kebaikan bersama. Pada saat yang sama menutup ruang dialog bagi orang yang kecil, lemah, tersingkir, teraniaya dan tertindas diatas tanah leluhurnya.
Sikap Mandagi menunjukkan bahwa secara perlahan Gereja Katolik di Tanah Papua, khususnya Keuskupan Agung Meraauke menjadi komoditas politik dan ekonomi bagi penguasa dan perusahaan. Gereja di wilayah ini perlahan menjadi “pemadam api kebakaran” terselubung atas nama Tuhan.
Suara Kenabian
Suara kenabian tidak lagi netral. Bahkan tidak berguna bagi gereja lokal, terutama pada aspek hak-hak umat terhadap tanah adatnya. Ajaran sosial gereja yang diharapkan dapat menyentuh orang-orang yang membutuhkan pertolongan, bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan dan kepedulian bagi gereja (pemimpin gereja setempat).
Upaya Mandagi pada belakangan ini cukup mencemaskan umat. Umat semakin tidak percaya gereja dengan pernyataan, sikap, dan keberpihakan gereja yang terkesan lebih mendukung orang yang berkuasa dan memiliki modal ketimbang masyarakat biasa. Ini membuat umat disini semakin ragu dan tidak percaya terhdap gereja Katolik Roma di Merauke ini.
Karena pemimpin gereja tidak menunjukkan kepedulian terhadap domba-domba kecil di Kampung Wanam dan Wogekel, Distrik ilwayab, Merauke, Papua Selatan, maka kami dari Suara Kaum Awam Katolik Papua, sebagai bagian dari gereja melakukan aksi protes terhadap sikap, penyataan dan keberpihakan Uskup Agung Meraauke yang kontroversial.
Aksi Mingguan di Jayapura
Kami melakukan aksi mingguan (rutin) pada Minggu, 20 Oktober 2024, pukul 09:30-10:30 WIT di halaman Gereja Katolik, Paroki “Kristus Juruselamat” Kotaraja, Kota Jayapura, Papua. Sekitar 5 orang melakukan aksi setelah mengikuti misa pertama di Gerej aini pada pukul 08:00 WIT.
Sebanyak 15 panflet dijejerkan di jalan masuk menuju gereja. Aksi ini dilakukan secara damai tanpa kekerasan, dan melakukan orasi. Paling penting adalah ribuan umat yang datang dapat melihat dan bertanya-tanya. Kemudian kami dapat menjawab sejumlah pertanyaan.
Aksi protes seperti ini akan dilakukan selama Uskup Agung Merauke memilih diam seribu bahasa. Tidak etis apaabila Uskup memebrikan kepercayaan kepada pastor lain untuk melakukan klarifikasi. Sebab sejak mau mengeluarkan pernyataan, Uskup tidak pernah meminta pertimbangan apalagi kompromi dari imam setempat yang memiliki hak ulayatnya juga.
Harapan Umat Katolik di Tanah Papua
Hingga saat ini umat Katolik di Tanah Papua masih berdebat soal pernyataan Uskup Mandagi yang kontroversial, dimana mendukung penguasa dan perusahaan pada saat umatnya sendiri sedang menolak Program Strategis Nasional (PSN) tersebut. Pada saat yang sama semua orang menantikan kebesaran hati dan kerendahan hati dari Uskup Mandagi untuk membuka ruang dialog dan meminta maaf secara langsung, agar semua orang bisa tenang.
Selain itu, hendaknya Uskup mendukung Paus Fransiskus yang melawan penguasa dan perusahaan yang merusaak ekosistem dan lingkungan hidup. Bukan sebalinya “berselingkuh” dengan mereka untuk memberikan kontribusi negatif yang berdampak pada pemanasan global. (*)