Pers Release
Ratusan orang Papua Barat yang ingin bertemu Paus Farnsiskus di Vanimo pada tanggal 8 September 2024 lalu tidak mendapatkan akses di perbatasan Republik Indonesia (RI) dan Papua Nieuw Guinea (PNG). Akhirnya 58 orang yang datang ke batas, akhirnya pulang dengan rasa kecewa dan sedih.
Sebelumnya banyak orang yang hendak bertemu Paus pergi ke kantor imigrasi dan Konsulat PNG di Jayapura guna mengurus passport dan visa. Namun, pihak berwenang mengatakan bahwa akses untuk berkunjung ke PNG telah dibatasi sejak Februari lalu dengan rencana kunjungan Sri Paus.
Pemerintah hanya memberikan pengecualian akses kepada keuskupan regio Papua, khususnya Keuskupan Jayapura yang dekat dengan Vanimo, provinsi Sandaun, PNG. Keuskupan ini telah mengumumkan kepada umat untuk segera mendaftarkan diri kepada tim kerja yang telah ditugaskan oleh uskup Jayapura.
Meski demikian, tidak semua orang mendapatkan akses informasi secukupnya. Lagi pula banyak orang tidak mengumpulkan berkas lantas sibuk dengan urusan masing-masing. Akibatnya, berdekatan dengan waktu kunjungan Bapa Suci jumlah orang makin membludak.
Lain ke Jakarta, terutama mereka yang memiliki biaya yang mumpuni. Namun sebagian besar dari Merauke, Asmat, Timika, Sorong, Bintuni, Kaimana, Fakfak, Pegunungan Bintang, Wamena dan lainnya datang ke Jayapura supaya bisa lihat Paus di Vanimo, Bahkan dengan mengorbankan banyak hal.
Umat sangat antusias datang kesini, karena selama ini mereka melihat Paus dari media masa saja. Sayangnya, kerinduan orang untuk mendapatkan berkat khusus dari jarak dekat oleh Yang Mulia pun terhalang dengan kebijakan pemerintah yang memperketat dan membatasi pengunjung di negara tetangga.
Setelah dipastikan sulit mendapatkkan akses, maka sebagian besar lebih memilih tinggal di kota Jayapura. Sedangkan sebanyak 58 orang sempat mendatangi di pos imigrasi yang terletak di Skouw-Yambe. Tujuannya bertemu dengan pihak imigrasi Indonesia, supaya bisa negosiasi dan mendapatkan akses untuk menyeberang ke sebelah.
Sehari sebelumnya, mereka menyewa kendaraan mobil sendiri. Berangkat pada pagi subu sekitar pukul 02:30 WIT. Tetapi upaya dan harapan mereka untuk mendapatkan berkat dari dekat oleh Paus Fransiskus gagal, karena pemerintah tidak memberikan ijin sama sekali.
Pemerintah PNG telah membatasi para pengunjung dari Papua Barat. Hanya bisa diterima sekitar 500-600 orang saja. Sehingga pemerintah Indonesia dapat menyesuaikan dengan kebijakan Pemerintah PNG tersebut. Meski demikian, jumlah kaum pribumi tidak sebanding dengan kaum migran.
Pada saat yang sama, sejumlah mahasiswa berkumpul perbatasan dan membentakan tulisan yang memohon doa dan keselamatan dari Paus Fransiskus atas alam Papua yang makin rusak akibat operasi pertambangan, ilegaloging, pembangunan infrastruktur dan aktivitas perusahaan yang tidak ramah lingkungan serta pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat pribumi, termamsuk pengungsi lokal.
Banyak orang juga ketinggalan di batas sebalah. Harus menyewa kendaraan bus dan bayar ojek sendiri. Sebagian orang lagi tidak mendapatkan makan, padahal katanya pemerintah tanggung semuanya.
Terlepas dari itu, apresiasi kepada Pemerintah PNG yang membuka akses bagi agar sebagaian orang Papua bisa menyeberang ke sebelah, setelah puluhan tahun lamanya dibatasi dengan tembok perbatasan. Apresiasi juga kepada pemerintah RI yang mempermudah akses bagi umat yang lain.
Harapannya, pada masa-masa yang akan datang Paus berbicara soal masalah genocida, etnosida dan ekosida di Tanah Papua yang merupakan paru-paru dunia. Bila Paus berkunjung ke Papua lagi, maka itu merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan terbesar bagi umat Katolik disini.
Jayapura, 20 September 2024
Laporan dari:
- Fanian Yobe (masyarakat di kota Jayapura
- Luis Kasipka (mahasiswa)
- Soleman Itlay (umat Katolik di Keuskupan Jayapura.