FRONT PELAJAR & MAHASISWA PEDULI HAM DAN DEMOKRASI
(West Papua Darurat, Ham & Demokrasi)
Salam Pembebasan Nasional
Dalam proses dekolonisasi yang dimulai setelah Perang Dunia Kedua pada tahun 1945, Majelis Umum PBB menetapkan West Papua pada tahun 1960 sebagai wilayah yang tak memiliki pemerintahan sendiri. Atas alasan ini, orang-orang West Papua memiliki hak untuk menggunakan secara bebas hak penentuan nasib sendiri. Di bawah pemerintahan Belanda, Dewan New Guinea didirikan pada tanggal 5 April 1961 untuk mewakili rakyat Papua. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1961 dikibarkan bendera Papua dan lagu kebangsaan West Papua. Langkah yang jelas menuju sebuah pemerintahan sendiri yang independen.
Sayangnya, kemerdekaan West Papua tidak terwujud. West Papua menjadi subyek pertentangan kolonial antara Belanda dan Indonesia. Di bawah tekanan Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia mencapai penyelesaian. Perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia–tanpa persetujuan rakyat Papua ditandatangani pada 15 Agustus 1962. Setelah penyerahan West Papua oleh Belanda ke Indonesia pada 1 Mei 1963, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian New York, Indonesia mengambil alih secara paksa. Pada tanggal 4 Mei 1963, pemerintahan administratif Indonesia yang baru dibentuk (di West Papua) melarang semua partai politik Papua yang ada, dan melarang kegiatan politik yang tidak sah. Protes oleh orang Papua terhadap pemerintahan Indonesia ditekan secara brutal, dan militer Indonesia melakukan kampanye kekerasan, pengkondisian dan intimidasi yang berkelanjutan terhadap orang Papua[2].
Tindakan Pilihan Bebas (Pepera) yang diselenggarakan oleh Indonesia pada tahun 1969 tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah tindakan penentuan nasib sendiri menurut hukum internasional sebagaimana diatur dalam Perjanjian New York. Hanya 1.025 orang Papua yang dipilih sepihak, yang pada saat itu mewakili sekitar 800.000 orang Papua, dipaksa memilih untuk berintegrasi dengan Indonesia[3]. Di bawah kondisi yang dijelaskan dalam Prinsip VIII dan IX Resolusi 1541 (XV) sebuah tindakan penentuan nasib sendiri menyangkut integrasi West Papua ke Indonesia seharusnya terjadi ‘atas dasar kesetaraan penuh’ dan di bawah syarat bahwa wilayah yang berintegrasi telah ‘mencapai tingkat pemerintahan mandiri yang lebih maju dengan lembaga-lembaga politik yang bebas’, sehingga rakyatnya ‘memiliki kapasitas untuk membuat proses-proses yang terinformasi dan demokratis’.[4] Sehingga jelas bahwa Act of Free Choice (Pepera) tidak memenuhi persyaratan itu dan karenanya melanggar pasal 73 Piagam PBB dan prinsip-prinsip terkait dalam UN GA Resolution 1541 (XV).[5] Oleh karena itu, Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) juga disebut sebagai ‘The Act of No Choice’ (Tindakan Tanpa Pilihan). Namun demikian, Majelis Umum mencatat hasil dari Tindakan Pilihan Bebas (Pepera) tersebut dan dengan itulah nasib orang Papua ditentukan.
Akibat sejarah politik West papua yang manipulatif dan masif berdampak pada pelanggaran HAM. Pada tahun 1965 gerakan perlawanan Papua yang dikenal sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka, atau ‘Gerakan Papua Merdeka’) dibentuk untuk melawan Indonesia. Militer Indonesia menanggapinya dengan operasi kontra pemberontakan, di mana ribuan orang West Papua tewas. Mengingat telah dirampasnya hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara bebas, perjuangan OPM dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Nasional West Papua (TPNPB) harus dianggap sah berdasarkan Pasal 1 Piagam PBB dan Pasal 3, 7 dan 29 Deklarasi.
Konflik antara (TNI/POLRI) dengan TPNPB masih berlanjut hingga hari ini. setidaknya 15 kali operasi militer di Papua dari tahun 1961-1977. semua upaya Pendudukan kolonialisme indonesia papua dengan kebijakan-kebijakan rasial yang tidak menguntungkan orang Papua diantaranya;
- Implementasi uu Otsus selama 21 tahun gagal tidak memberikan manfaat bagi masyarakat West papua justru orang Papua menjadi miskin dan marginalisasi di negerinya.revisi uu otsus dilakukan tanpa melibatkan orang Papua yang merupakan subjek atas kebijakan otsus. merespon kebijakan pemerintah indonesia yang otoriter rakyat Papua Melakukan protes dengan demonstrasi damai dan menggalang 700.000 petisi penolakan otsus dan DOB ( daerah Otonomi Baru).
- Perlawanan Rasisme Indonesia dan Penyampaian pendapat dimuka umum rakyat Papua menjadi korban penyiksaan, penembakan dan pemenjaraan sepanjang 2019-2023 diantaranya 159 orang menjadi di tahanan Politik, dengan dakwaan Pasal Makar 106 juncto Pasal 110 KUHP dengan tuduhan pengkhianatan atau melawan negara yang sah oleh Pemerintah Indonesia. Sebanyak 130 telah menjalani proses hukum dan dibebaskan. Sebanyak 29 orang masih menjalani proses hukum dan dijatuhkan hukuman. Diantaranya 3 orang Perempuan dan 26 orang laki-laki. sementara 3 orang dihukum 4 tahun penjara dan 23 orang masih menjalani Proses hukum dengan 1 orang hukuman seumur hidup dan lainya 30-2 tahun penjarah di West Papuan Maupun diluar Papua.
- Sepanjang Tahun 2022 terjadi 46 Peristiwa kekerasan dan Pelanggaran HAM Dengan Korban Sebanyak 348 terdiri dari 313 korban Laki-laki dan korban Perempuan 35 orang. Diantaranya korban anak dibawa umur 22 orang. 26 orang Meninggal dunia. Angka kekerasan di Papua terus meningkat Sepanjang 2023 dalam mendokumentasi Pusaka terjadi 80 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM dengan korban sebanyak 489, terdiri dari korban perempuan 43 orang dan sebanyak 446 orang korban Laki-laki dan sebanyak 42 orang korban anak dibawa umur, diantaranya 37 korban laki-laki dan korban perempuan 5 orang. Korban meninggal 59 Orang sebanyak 47 laki-laki, dan sebanyak 3 orang korban Perempuan.
- Konflik bersenjata yang berkepanjangan masyarakat sipil menjadi korban Pengusian Internal Berdasarkan data http://www.humanrightsmonitor.org/ diketahui jumlah pengungsi internal sebanyak 76,919 ribu orang, yang tersebar di beberapa daerah, yakni; 1). Nduga 56.981 mengungsi sejak 02 Desember 2018; 2). Puncak 2.724 mengungsi sejak 2021; 3). Intan Jaya 5.859 mengungsi sejak 26 Oktober 2021; 4). Maybrat 3.387 mengungsi sejak 02 September 2021; 5). Pegunungan Bintang 2. 252 orang dari Distrik Kiwirok mengungsi sejak 10 Oktober 2021; 6).Yahukimo 2.343 orang dari Distrik Suru-suru mengungsi sejak 20 November 2021. Pengungsian terus bertambah sepanjang 2023, Kabupaten Yahukimo 674 warga dari 8 Distrik mengungsi sejak 21 Agustus 2023. 7). Fakfak 500 Orang Mengungsi dari distrik (kramongga) sejak 16 Agustus 2023. 8). 2.600 orang mengungsi sejak 12 April 2024.
- Sepanjang periode 2001 – 2021, luas wilayah hutan yang hilang (deforestasi) di Tanah Papua seluas 793.623 ha. Laju deforestasi tertinggi terjadi pada tahun 2015 dengan luas hutan yang hilang 102.740 ha. Total jumlah deforestasi tersebut sebesar lebih 10 kali Kota Hamburg di Jerman (755 km2).
Penyebab deforestasi adalah aktivitas pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit, industri hutan tanaman (HTI), pertambangan dan transmigrasi.
Luas wilayah hutan dan non hutan yang digusur dan hilang sepanjang periode 2001 – 2021, untuk pengembangan bisnis perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua seluas 226.031 ha, dan termasuk diantaranya lahan gambut seluas 534 hektar. Sedangkan wilayah hutan dan non hutan yang hilang untuk pengembangan hutan tanaman industri seluas 13.568 ha.
Deforestasi Papua meningkat diulas luas kawasan hutan di Papua yang rusak dan hilang pada tahun 2021 seluas 1.552 hektar yang kemudian mengalami peningkatan yang hampir dua kali lipat pada tahun 2022 yaitu sebesar seluas 20.780 ha hektar. sebagian besar penggundulan hutan disebabkan alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 2.583 hektar. Berdasarkan laporan lapangan dan pemantauan peta citra satelit (https://nusantara-atlas.org). Pusaka mencatat luas deforestasi yang terjadi pada tahun 2023, seluas 25.457 hektar. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2022, seluas 20.780 ha. Kejadian deforestasi berulang dan meluas terjadi di lokasi konsesi perusahaan yang serupa dengan tahun sebelumnya. Jumlah kawasan hutan yang rusak dan hilang pada areal konsesi perusahaan pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit di tahun 2023, seluas 18.802 hektar. Perhitungan berdasarkan penggunaan atau pemakain hutan sepanjang tahun 2023 ditemukan deforestasi; hutan mineral 54,381, hutan mangrove 108, Hutan Rawa Gambut 2,391 dan Non Hutan 3,330 dengan total deforestasi 60,210 hektar.
Berdasarkan berbagai problem dapat disebutkan diatas kami yang tergabung dalam Front Pelajar & Mahasiswa Peduli Ham Dan Demokrasi mendesak;
- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Segera Mengintervensi tindakan Genocide, Ecoside, Etnoside, yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat West Papua dengan memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua.
- PBB Segera Intervensi operasi militer yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di nduga, intan jaya, puncak papua, puncak jaya, maybrat, pegunungan bintang, yahukimo, paniai dan seluruh tanah Papua.
- PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses Penentuan nasib sendiri,pelurusan sejarah dan penyelesaian kasus pelanggaran ham di west Papua.
- PBB segera mendesak Pemerintah Indonesia memberikan akses bagi UN, Peneliti/Pekerja HAM, Jurnalis, dan Akademisi Untuk melakukan investigasi atas pelanggaran HAM ( Genosida, Ecoside, Etnoside,) di Papua.
- PBB segera Memberikan Memo khusus Perjuangan Menentukan Nasib Sendiri bagi West Papua, Aborigin, Kanaky dan Palestina.
- PBB segera Mendorong Upaya Hukum Penyelamatan Tanah dan Hutan adat yang diperjuangkan oleh masyarakat Amerika Latin, Congo dan West Papua.
- Mendesak Pemerintah Indonesia segera Tutup PT. Freeport, BP, LNG Tangguh, serta semua perusahan kelapa sawit dan Hentikan Rencana pengembangan Blok wabu, Blok Weyland, dan rencana pertambangan Lainnya diatas Tanah Papua.
- Cabut UU Cipta Kerja, Otsus Papua dan DOB serta Tolak RUU Penyiaran, RUU TNI, dan RUU Polri.
- Segera Tarik Militer organik dan non-organik dari Seluruh tanah west Papua
- Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Negara dan Militer Indonesia kepada Rakyat Papua.
- Usut tuntas, tangkap, adili dan penjarakan jendral-jendral pelanggar HAM dan Buka Akses Jurnalis Nasional dan Internasional seluas-luas-nya di Seluruh West Papua.
- Segera bebaskan 30 orang Tahanan Politik di sorong, Makassar, manokwari, Jayapura dan bebaskan Agus Kosay, Beni Murib, 21 orang korban salah tangkap di sorong dan seluruh Tahanan Politik West Papua lainnya tanpa syarat.
- Segera hentikan rencana Pengerjaan proyek strategis nasional di merauke, tambrauw, raja ampat, sorong, sorong selatan dan seluruh tanah papua yang akan berdampak pada pemanasan Global yang mengorbankan masyarakat adat papua dan ( Asia, Pasifik ).
- Kami Mendukung Penuh Perjuangan Menentukan Nasib Sendiri bagi West Papua, Aborigin, Kanaky dan Palestina.
Medan Juang 30 Agustus 2024