Oleh: Tim Kerja Dapur Harapan
Kunjungan Paus Fransiskus ke Vanimo, PNG ini amat bersejarah bagi orang Melanesia, termasuk dalam perkembangan dinamika pastoral bagi masyarakat lokal di West Papua [istilah yang terkenal di dunia luar].
Sri Paus akan hadir pada 8 September 2024 setelah 180 tahun yang lalu Tahta Suci Vatikan mengeluarkan dokumen penting untuk menentukan nasib dan masa depan gereja lokal di kawasan Melanesia dan Mikronesia. Hal ini dapat dilihat dari dokumen “Ex debbito Pastoralis” pada 19 Juli 1844. Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Gregorius XVI dari Roma untuk membentuk Vikariat Mikronesia dan Vikariat Melanesia.
Kedua vikariat itu memiliki wilayah dari 125 derajat Bujur Timur sampai 160 derajat Bujur Barat, meliputi Nova Guinea (Papua), Tobbia, William, Shouten Eilanden, Vesset, Timollant, Ariou, dan sejumlah wilayah lainnya.
West Papua secara historis bagian integral dari Melanesia. Tetapi dalam administrasi pemerintahan, 60 tahun terakhir menjadi bagian dari Indonesia. Wilayah ini sekarang meliputi enam Daerah Otonomi Baru (DOB), yakni Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya.
Kehadiran Sri Paus ini mengikuti kebijakan pendahulunya. Salah satu tokoh misionaris sentral adalahCornelis Le Cocq d’Armandville. Ia masuk di Kampung Sekru, Fakfak, Papua Barat pada 22 Mei 1894. Setahun kemudian, tepat 1 Mei 1895 membuka pos misi pertama di pulau Bonyom, Kampung Bronkendik, Fakfak, Papua Barat.
Misi ini kemudian dilanjutkan oleh Kongregasi Hati Kudus Yesus (MSC) setelah pastor Le Cocq meninggal dunia pada 27 Mei 1896 di Kampung Kipia dan Mapar, Mimika Barat, Papua Tengah. Misionaris MSC mulai masuk di Merauke pada 14 Agustus 1905. Sekarang telah mencapai usia 119 tahun.
MSC tidak hanya berkarya di Selatan Papua. Tetapi juga di wilayah Asmat, Mimika, Babo, Kaimana, Fakfak, Manokwari dan Jayapura pernah menjadi bagian dari wilayah karya perintisan mereka pada masa-masa yang sulit.
Mengingat kebun sagu dan patatas Tuhan ini sangat luas, maka mereka mengundang saudara mereka dari komunitas Fransiskan (OFM) di Belanda untuk melayani di bagian Utara Nueva Guinea. Pada 1937Fransiskan mulai masuk di tanah misi.
Kemudian Ordo Santo Agustinus (OSA) sebelum mengambil fokus di wilayah Kepala Burung, Sorong dan sekitarnya, bekerja di Keerom pada 1950-an. Terakhir dari Ordo Salib Suci (OSA). MSC di Merauke mengundang mereka untuk fokus melayni umat di wilayah Asmat dan sekitarnya. Daerah lumpur menjadi lahan bagi komunitas ini. Sejak 1950-an, mereka berkarya hingga berakhir pada tahun 2000-an.
Mereka semua ini ibarat kaka beradik. Beraasal dari satu ibu. Tinnggal pada satu rumah. Berekbun di ladang yang sama. Tidur bangun, dan makan minum, bahkan jatuh bangun dan rasakan suka duka sama-sama.
Satu sama lain saling melengkapi, mendukung, menolong dan menghormati. Dalam kerendahan hati Allah, mereka menyebarkan kasih dan karya keselamatan Allah. Harus diakui secara jujur, bahwasannya wajahgereja hari ini merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan dari orang-orang di masa lalu, termasuk anak-anak perintis.
Tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi menurut kehendak Allah. Allah menghendaki Paus Gregorius XVI membuka lahan kebun sagu dan petatas. Allah pula menghendaki pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville dan henri Nollens dkk masuk di Tanah misi. Allah yang sama setelah mengutus banyak orang, kini menghendaki Paus Fransiskus untuk bersentuhan dengan tanah leluhur orang Melanesia.
Jika pada 300-an Masehi Yesus Kristus meletakkan dasar misi keselamatan Allah kepada Santo Petrus, yang menjadi Paus pertama di Roma, sedangkan Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville meletakkan misi Apostolik yang sama diatas pundak manusia Papua pada 130 tahun lalu.
Bagi orang Katolik di Papua, kunjungan ini bukan sekedar kunjungan Apostolik. Lebih daripada itu dapat menguatkan iman, harapan dan keselamatan kepada Yesus Kristus.
Umat Katolik di Tanah Papua cukup lama menantikan kehadiran Paus Fransiskus. Bahkan sangat berharap untuk melihat dan mendapat berkat dari jarak dekat. Jarak tempuhnya dari Kota Jayapura ke Vanimo dengan kendaraan hanya berkisar 97,0 km dan bisa menghabiskan waktu ± 2 jam saja.
Sayangnya, banyak umat yang kurang mendapatkan akses informasi. Bahkan ingin sekali ikut, tapi terkendala dengan biaya pembuatan paspor dan visa. Sehingga kehadiran dan kepergian Bapa Suci hanya akan menyisihkan kesedihan bagi umat yang tidak mampu dan sulit mendapatkan akses masuk.
Tidak terkecuali. Semua orang ingin mendapatkan berkat khusus dari kunjungan ini. Kita semua berharap agar pemeritah dapat mempertimbangkan doa, kerinduan, pergumulan dan harapan umat untuk melihat Paus dari dekat.
Semoga kehadiran Paus ini dapat memulihkan jejak kaki para leluhur dan nenek moyang di atas Tanah ini. Juga menyegarkan benih-benih iman yang lama layu dan tidak menghasilkan buah. Semoga kesejukkan dan kedamaian hati Yesus nampak di Tanah Melanesia ini di Tengah ancaman pemanasan global.
“Satu Papua Satu Katolik – Satu Katolik Satu Papua”
Demikian pers release kami, Tim Kerja Dapur Harapan, yang selama ini fokus meneliti dan menulis tentang Sejarah Perkembangan Misi Katolik di Tanah Papua. Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terimkasih banyak. Tuhan Yesus memberkati.
)* Tim Kerja Dapur Harapan Yan Ukago (Ketua Tim Kerja Dapur Harapan)