Oleh: Soleman Itlay
Suku Hugula adalah salah satu suku asli Papua yang menetap lama di Lembah Agung Hugulama, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Indonesia. Suku ini berasal dari keturunan leluhur Australo Melanosoid. Secara ras bagian dari rumpun Melanesia.
Suku ini memiliki kekayaan intelektual komunal yang cukup menarik, baik bahasa, budaya, adat istiadat, karakteristik dan lainnya. Setidaknya memiliki satu bahasa, yakni bahasa Hugula. Dalam satu bahasa ini mempunyai tujuh dialek dari 23 aliansi dan konfederasi yang ada di Lembah Hugulama.
Perbedaan Sebutan
Perbedaan dialek bahasa tersebut dapat dilihat dari pengucapan terhadap suatu objek, misalnya nama suku Hugula ini [yang berhubungan dengan huruf G, W, B, RL, RDL, BL dan PL] di tengah. Wilayah aliansi Itlawisage, Itlay-Lokowal, dan sekitarnya menyebutkannya suku Hugula.
Sedangkan wilayah aliansi Siep-Asso ( termasuk Pasema dan Kurima), Asso-Lokowal, Asso-Tapo, Uelesi, Ohena dan lainnya menyebut Huwula. Berbeda dengan sebutan dari aliansi Wio/Mukoko, Huwikiak, Huwi-Kosi, Inyairek (Pugima), Siepkosi dan sekitarnya. Mereka menyebutnya suku Hubula.
Bagian Logo-Mawel (Yiwika, Watlaku, Wosi dan sekitarnya), Alua-Witipo (Musatfak, Elagaima Watikam dan sekitarnya) menyebut Huwurdla/Huwurla. Bagian Sowa, Tagma dan sekitarnya menyebut Hupla/Hubla.
Perbedaan ini memberikan corak khas tersendiri bagi suku Hugula, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak hal, terutama untuk menyebut petatas, batu, kayu dan lainnya antara satu wilayah dengan wilayah lain memiliki perbedaan tipis. Ketika berdialog bisa dibedakan dari logat/dialek yang menunjukkan asal wilayah aliansi atau konfederasi tertentu.
Bukan hanya itu, cara berkebun, membuat pesta adat, memotong daging babi, pernikahan, duka dan lainnya juga demikian. Salah satu hal yang bisa dipahami adalah dari cara berkebun. Dimana cara berkebun orang-orang di lembah berbeda dengan orang-orang di wilayah lereng gunung, perbukitan dan pegunungan.
Perbedaan ini tidak bisa digeneralisasi atas nama sebuah dominasi dalam segala hal. Dalam ruang resmi sering dan memang lebih mudah menggunakan dialek bahasa dari aliansi Wio/Mukoko, tetapi pada ruang tertentu masing-masing aliansi mempertahankan eksistensinya.
Warisan Lex Roux
Orang luar yang belum tahu baik lebih banyak mengenal suku Hugula ini dengan istilah baru, yaitu suku Dani. Dani ini merupakan warisan dari seorang antropolog Amerika Serikat (AS), Le Roux (1939) dalam Ekspedisi Arrcbold yang dilakukan di Pegunungan Hiriakup dan Irimuliak (bahasa Hugula).
Ekspedisi yang dilakukan dibawah kendali Royal Dutch Geographical Society ini menjadi cikal bakal dari munculnya nama suku Dani, yang sering salah dialamatkan kepada orang Hugula. Peristiwa ini terjadi di wilayah adat Intan Jaya.
Pada saat itu, Ekspedisi Nuguni Tengah itu dimulai dari wilayah Paniai (Meeuwo). Le Roux dan rombongan masuk di wilayah Intan Jaya. Mereka harus melewati ini untuk mencapai pegunungan Hiriakup dan Irimuliak.
Sesampai di Tanah Migani, Le Roux bertemu dengan orang/suku Migani. Lalu bertanya soal nama wilayah dan suku yang berada di bagian paling timur. Masyarakat setempat menyebutnya “Ndani (dialek Migani)” untuk menyebut orang/suku Lani.
Apa yang disampaikan oleh masyarakat Migani itu sangat tepat. Mereka memberikan informasi yang sangat benar. Tetapi Le Roux berpikir bahwa orang-orang yang ada di wilayah timur itu hanya satu suku saja, yakni; Dani. Karena itu, ia menulis dalam laporan ekspedisi itu bahwa orang yang ada di wilayah timur, termasuk Lembah Hugulama ini suku Dani.
Laporan ekspedisi yang ditulis Le Roux memiliki dampak besar di Eropa. Setelah mengetahui, orang luar memahami orang di Hugulamaa merupakan bagian dari suku Dani. Karena itu tidak heran, apabila hingga saat ini banyak orang masih keliru dan menyebut orang Hugula atau menyamaratakan mereka dengan suku Dani/Lani.
Beberapa daerah di Papua, seperti LPMAK di Timika dan Nabire dalam beberapa kasus ataupun konflik menyebut atau menyamaratakan orang Hugula dengan Dani. Kategorisasi macam ini tentu sangat keliru dan tidak bisa digeneralisasi atas nama suku tertentu.
Sebab suku Hugula itu dari segala aspek, seperti bahasa, budaya, wilayah, mata pencaharian hidup dan lainnya sangat berbeda dengan suku lain, termasuk suku Lani/Dani. Tetapi wajar saja, bahwa kesalahpahaman ini muncul dan hingga saat ini masih berlaku lantas tidak ada orang Hugula yang mau memperjelas identitas sukunya di publik, seperti orang Mee memperjelas nama suku mereka dari Ekari.
Pusat Peradaban
Leluhur dan nenek moyang suku Hugula menempati di Lembah Hugulama sekitar 6000 tahun yang lalu. Bahkan selama ribuan tahun lamanya membentuk peradaban kuno disini.
Peradaban masa lalu yang dimaksud berhubungan dengan pengembangan sistem tata bahasa, kebudayaan, adat istiadat dan ritual hidup, pertanian, peternakan, rumah adat, dan lainnya. Semuanya ini dikembangkan secara alam selama bertahun-tahun lamanya.
Pembentukan identitas memakan usia yang sangat lama, karena itu seorang ekspeditor yang bernama Richard Acbold terheran-heran dan terkagum-kagum pada 23 Juni 1938. Setelah melihat hamparan kebun, irigasi kebun, pagar kebun dan rumah dari atas udara ia menyebut bahwa sistem pertanian, irigasi, peternakan dan lainnya di wilayah ini termasuk yang tertua di dunia.
Hal ini didukung oleh keyakinan masyarakat adat di wilayah Lapago dan Meepago yang meyakini bahwa Lembah Hugulama menjadi pusat peradaban manusia. Sejumlah suku yang tersebar dua wilayah adat tersebut, seperti Lani, Nduga, Damal, Migani, Amungme, Mee dan lainnya bermigrasi dari Lembah Hugulama.
Wilayah Kekuasaan dan Kedaulatan
Secara ekslusif batas wilayah pemukiman suku Hugula dari Heraewa sampai Watikam. Tetapi apabila diukur dari luasnya hutan adat, pegunungan serta penyebaran klen marga, maka wilayah kekuasaan dan kedaulatan suku ini justru menjadi lebih luas, yakni dari Kurima hingga Piramid dan Apisampalek hingga Hiriakup.
Bagian Selatan dibatasi dengan ujung pegunungan Irimuliak yang terdapat di wilayah Kurima, Sowa, Tangma dan hingga Anuguane (Nduga) memilahkan suku Hugula, Yali, Nduga dan suku-suku yang ada di wilayah, Passma, Sowa dan Tagma. Batas Utara dihalau oleh pegunungan Watlaku atau Wadangku yang bersebelahan dengan distrik Abenaho, Kabupaten Yalimo dan Ilugwa, Kabupaten Mamberamo Tengah.
Sebelah Barat dihimpit dengan pegunungan Watikam dan perbukitan yang ada di wilayah Piramid hingga Pegunungan diatas Elagaima, yang bersebelahan dengan danau Yugunopa (Habema). Kemudian wilayah yang berdekatan dengan pegunungan Hiriakup ini memisahkan suku Hugula, Lani, dan Nduga
Wilayah di kutub Timur berada di belakang wilayah adat atau distrik Itlawisage, dimana bersebelahan dengan distrik Apalapsili, Kabupaten Yalimo. Sebagian masuk juga wilayah distrik Yogosem dan kabupaten Yahukimo. Pegunungan Apisampalek hingga Kuniwa menjadi batas pemisah antara suku Yali-Hugula.
Kedekatan Hubungan
Kedekatan geografis antar suku tersebut tentu saja memiliki emosional yang sangat dekat. Kemudian secara tidak langsung kerap membentuk kesinambungan identitas dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya suku-suku terdekat.
Suku Hugula memiliki kekerabatan dengan suku-suku yang ada di wilayah sekitarnya.
Bagian Selatan bersentuhan langsung dengan suku Yali dan Nduga. Sebelah Utara bersebelahan dengan suku Yali, Walak dan Lani. Bagian Barat bertentangga dengan suku Lani dan Nduga. Sedangkan bagian Timur tentu berbatasan dengan suku Yali.
Mata Pencaharian Hidup
Orang atau suku Hugula memiliki kebiasaan untuk mempertahankan hidup dengan cara berkebun, beternak, berburu dan meramu. Umumnya mahir bercocok tanam, memelihara ternak babi dan suka mengumpulkan bahan makanan dan material bangunan di hutan belantara.
Kebiasaan menangkap ikan, kuskus, udang dan lainnya juga sudah lama dikembangkan oleh orang Hugula, tetapi banyak belum mengetahuinya. Kebiasaan menangkap ikan, dan udang ini, masyarakat di wilayah perairan sungai Palim, Aki, dan lainnya sudah terbiasa dilakukan, tetapi pada masa lalu bukan menjadi sebuah prioritas dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Bersambung…
PN|Selasa, 18 Juni 2024
Noth!
Ditunggu tulisan selanjutnya 🙏🏿😇