Oleh: Soleman Itlay
Banyak istilah yang muncul untuk menggambarkan wilayah kekuasaan dan kedaulatan suku Hugula yang populer di kalangan masyarakat pada dewasa ini, seperti Wamena, Agumua, Wio, Wio Silimo, Lembah Baliem, Lembah Agung, Kota Dingin, Kota Dani, Kota Ninja, Kota Owasika dan lainnya.
Lantas mana yang lebih tepat dari semua jargon kota yang terus berkembang dan berubah waktu waktu ke waktu, dan dari satu generasi ke generasi lain?
Pandangan yang benar dan tepat adalah, apakah yang diberikan oleh orang luar atau masyarakat adat [lokal] sendiri?
Dari semua, julukan paling tepat hanya ada satu. Baca dari awal sampai akhir, biar besok-besok tidak salah sebut.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang nama-nama yang muncul dan berkembang dari masa ke masa berdasarkan sejarah, mitologi, filosofi, jargon, istilah dan lainnya:
- Wamena
Istilah Wamena ini lahir dari sebuah peristiwa bersejarah yang melibatkan mama kandung dari Wenehule Huby, Togalekhe Itlay yang berdarah Yali dan seorang Belanda di pinggiran kali Paliem. Tepat di sebelah museum Wesaput, jalan ke arah Wisama.
Tentara orang Belanda yang tinggal dalam pos di jembatan Wesaput ini tidak tahu bahasa Hugula. Begitu juga dengan mama Itlay, dia juga tidak tahu bahasa Belanda.
Mereka dua bertemu secara kebetulan. Ceritanya, mama ini mau pergi ke arah Wisama. Sedangkan tentara ini tinggal dan jalan-jalan ke arah muara antara kali Wisanya dan sungai Paliem yang tidak terlalu jauh dari pos tentara Belanda di Wesaput.
Jaraknya sekitar 300-500 meter. Tentara ini sangat penasaran untuk nama lembah ini. Kononnya, dia sudah siapkan pertanyaan dari jauh-jauh hari atau dari berapa hari yang lalu.
Tetapi dia belum mendapatkan kesempatan yang tepat. Kali ini dia manfaat kesempatan betul-betul dengan mama Itlay yang datang ke arah muara kecil yang ditutupi dengan pohon-pohon lokop di pinggiran kali dan sungai ini.
Setelah ketemu, dia bertanya soal nama tempat di lembah ini dalam bahasa Belanda dengan mengandalkan bahasa tubuh dan menggerakkan anggota tubuh yang lain (tangan).
Tetapi mama ini pikir, orang Eropa ini bertanya soal ternak wam/babi yang dia ada pegang/gendong, sehingga dia sebut “wam ena”, artinya babi jinak.
Dari situ seorang Belanda itu menarik kesimpulan secara mentah-mentah, bahwa nama lembah ini adalah Wamena.
Dia meyakini itu sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk menggambarkan nama kota ini, tanpa pernah mengkonfirmasi kepada masyarakat adat setempat.
Dengan berjalannya waktu, dia terus melancarkan propoganda kemana-mana. Dia mulai memberitahu ke teman-teman, dan orang-orang di luar negeri, bahwa nama kota/lembah ini adalah “Wamena”.
Nama Wamena kemudian makin populer dan banyak orang lebih mudah menggunakan nama ini ketimbang nama yang sebenarnya (lihat pembahasan terakhir tentang Hugulama).
- Agamua
Nama ini mempunyai sejarah, mitologi, filosofi dan artinya sendiri. Berangkat dari sebuah telaga kecil yang sangat alami.
Saya tahu tapi tidak akan menyebutkan tempat tersebut. Pokoknya dia ada di pusat kota Wamena. Luas telaga Agamua ini tidak terlalu besar.
Kurang lebih 10×10 meter. Sekarang ditutupi dengan timbunan dari kali Uwe dan bangunan gedung serta ruko-ruko.
Lokasi ini milik marga atau klen Lagowan di dalam kota Wamena. Tua-tua adat tahu tempat ini. Bahwa tempat ini tidak besar dan hanya berlaku untuk ruang lingkup ± 10 persegi. Sekarang ditimbun dengan pasir, tanah dan ruko.
- Wio/Wio Silimo
Wio Silimo ini sendiri punya sejarah, mitologi dan filosofi sendiri juga. Sama dengan nama-nama tempat yang lain di lembah agung hijau dan sejuk ini.
Luasnya sangat terbatas. Hanya berlaku sekitar 500×300 meter. Wio/Wio Silimo terletak di wilayah Wesagenya atau Wesaput.
Tepat di kompleks pemancingan, tempat atau kediaman bapak kepala suku, Wenehule Huby. Nama tersebut berlaku untuk ruang lingkup sekitarnya. Tidak keluar dari situ.
- Lembah Palim
Satu istilah yang terkenal di wilayah ini adalah Lembah Baliem (Baliem Valley). Ini bukan nama asli wilayah suku Hugula.
Tetapi ini diberi nama oleh orang asing, peneliti asing dalam ekspedisi ketiga yang dilakukan pada 1938. Namanya Richard Archold.
Dia kalau tidak salah peneliti asal Belanda yang ikut dalam ekspedisi itu. Pertama dia melihat lembah dan sungai Paliem dari atas pesawat.
Dengan kata lain, dia lihat dari atas udara dan ketinggian di wilayah pegunungan sekitar Ibele. Bukan dilihat dari dekat, atau setelah wawancara dan memastikan kepada penduduk setempat.
Dalam ekspedisi itu ia menyebut Green Valley. Kemudian berkembang lagi Baliem Valley. Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia disebut Lembah Baliem.
Dari penyebutan Baliem juga masih salah. Istilah yang tepat untuk menyebut sungai terbesar di lembah ini adalah Paliem/Palim. Sehingga yang tepat adalah Lembah Paliem, bukan Lembah Baliem.
Dalam bahasa asing, baik bahasa Belanda, Inggris maupun Indonesia menghilangkan originalitas nama sungai ini, yaitu; diksi yang sebenarnya menggunakan huruf “P” di depan, kemudian digantikan dengan “B”.
Akhirnya, salah disebut sebagai “Baliem”. Ini sudah lari dari kebenarannya, yaitu; “Paliem”. Memang ini hal kecil yang tidak perlu dipersoalkan, tapi perlu kita luruskan dari dari sekarang agar tidak berdampak buruk pada hal-hal besar yang lain di kelak hari.
Nama ini makin populer dengan penyelenggaraan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) yang dilakukan setiap tahun pada bulan Juni-Agustus menjelang 17 Agustus, mengenang hari kemerdekaan RI.
Namanya tidak relevan karena tidak mengikat pada fakta sejarah, mitologi dan filosofi hidup suku Hugula. Karena istilah ini istirahat “liar” yang diberikan oleh orang luar dari jauh dan senantiasa berkembang diatas awan-awan dan angin belaka.
Tidak mendarat dan tidak menyatu dengan kepercayaan orang Hugula sendiri dalam menyebutkan nama wilayah adatnya secara umum dari timur ke barat dan utara ke selatan.
Kalau kita mau melihat lebih spesifik, kita akan ketemu ketidakcocokan seputar nama yang menghubungkan antara lembah dan sungai Paliem ini.
Dimana bagian kepala air punya nama sendiri. Begitu pula bagian tengah dan ekor sungai ini. Masing-masing tempat dengan batasan ruang lingkupnya mempunyai nama sendiri dan itu tidak bisa pukul umum.
Nama ini, meskipun dari segi geografis dan topografis dipandang cukup logis. Tapi dari segi sejarah, mitologi dan filosofi tidak tepat.
- Kota Dingin
Ini merupakan satu julukan yang muncul pada belakangan ini dan tentu bukan nama asli setempat. Julukan ini tidak memiliki sejarah, mitologi dan filosofis.
Istilah ini muncul semata-mata karena iklim daerah ini yang sangat dingin. Kemudian orang sering dengan mudah menyebut kita dingin.
Tetapi kalau kita lihat dengan jelih dan apabila membandingkan dengan kondisi iklim daerah lain, seperti di Tiom, Puncak Jaya, Pasvalley dan Abenaho (Yalimo), Mbua, Dal, Mbulmuyalma (Nduga), Oksibil (Pegunungan Bintang) dan lainnya sama.
Artinya, sama-sama dingin meskipun kadang-kadang suhu dan derajatnya berbeda-beda. Bahkan tidak sedingin Paniai berdasarkan data iklim resmi yang dihimpun pemerintah (data lebih lengkap ada di bapa Y. Ukagao soal ini).
Julukan ini kalau boleh katakan tidak tepat untuk menggambarkan wilayah kekuasaan dan kedaulatan suku Hugula. Karena memiliki pengertian ganda dan tidak terikat dengan kebenaran secara de facto.
- Kota Dani
Kata “DANI” merupakan kepanjangan dari Damai, Aman, Nyaman dan Indah. Ini merupakan buah pemikiran dari mantan bupati J.B. Wenas. Dia mengusung kota ‘Hugulama’ sebagai DANI.
Tentu saja ini bukan nama kota sebenarnya, melainkan sebuah visi dan misi yang termuat dalam program pemerintah saat itu. Kemudian orang kerap [salah] menafsirkannya sebagai nama kota ini.
- Kota Owasika
Sejak 80/90-an lembah besar ini mulai muncul rumput Owasika (orang asing menyebutnya rumput Mei lantas tumbuh pada setiap bulan tersebut). Semakin terkenal diatas 2000-an.
Dulu belum terkenal karena belum ada kamera dan media masa. Sekarang makin populer seiring dengan adanya banyak fotografer dan masyarakat yang mempublikasikan di media sosial.
Pada 10 tahun terakhir setiap tahun, terutama di bulan Mei, lembah ini sangat ramai. Banyak membanjiri kota ini untuk menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
Saat ini memang belum nampak. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan Owasika disini kelak bisa membuat orang mudah dan bisa saja memberi julukan baru sebagai “Kota Owasika atau Owasi-owasika.”
- Kota Ninja
Dulu lembah hijau yang sejuk ini aman. Siapa saja yang datang, pasti merasa nyaman. Bahkan ingin tinggal disini (lama-lama).
Dulu , sampai pukul 10 malam hingga 3 subuh orang bisa jalan kaki sendiri. Orang bebas jalan. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Tetapi memasuki 2018, situasi kota ini makin berubah. Siang malam orang jalan dengan alat tajam. Bahkan jalan penuh iri hati, kebencian, dendaman, sentimen, dan niat jahat.
Orang jalan dengan rasa takut dan trauma. Bikin jengkel karena setiap detik harus hati-hati. Karena hal-hal tak terduga, seperti aksi begal, pembacokan, penikaman dan pembunuhan bisa terjadi di siang bolong.
Para migran jual alat tajam bebas. Pihak penegak hukum juga tidak bertindak tegas bersama pemerintah daerah. Misalnya, membatasi penjualan alat tajam [kecuali alat kebun].
Diksi DANI yang diciptakan J.B. Wenas setelah 50-an tidak berguna lagi. Bahkan tingkat kekerasan dan kejahatan saat ini memberikan indikasi lain. Karena realitas ini, orang kerap sebut juga Kota Ninja.
- Hugulama
Lalu pertanyaannya: istilah yang tepat untuk menggambarkan wilayah kekuasaan dan kedaulatan suku Hugulanya apa?
Jawabannya sederhana saja. Hugulama. Mengapa dikatakan Hugulama. Karena itu maknanya merepresentasikan manusia Hugula dan segenap wilayah kekuasaan dan kedaulatannya.
Hugulama ini berasal dari kata Hugula dan Ama. Hugula menunjukkan tentang suku Hugula, sedangkan ama menunjukkan wilayah atau tempat suku Hugula berkuasa dan mendiami.
Dengan demikian istilah yang benar dan tepat untuk menggambarkan manusia dan wilayah adat serta segala sesuatu yang ada disini adalah Hugulama.
Karena Hugulama inilah yang istilahnya sangat tepat untuk dijadikan sebagai nama lembah besar, wilayah kekuasaan dan kedaulatan suku Hugula. Juga bisa dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Jayawijaya dan atau Provinsi Papua Pegunungan.
Sekarang sudah to? Jangan lagi sebut salah-salah tanpa memahami dengan baik. Mari, mulai sekarang dan seterusnya kita sebut wilayah lembah ini adalah Hugulama (dialek Itlawisage).
Noth!
PN | Kamis, 24 November 2022