Oleh: Benyamin Lagowan*
Serendah itukah kualitas Pemprov Papua Pegunungan era Nicolaus Kondomo? Sebodoh itukah masyarakat Provinsi Papua Pegunungan? Sejelek itukah provinsi Papua Pegunungan dari 6 Provinsi di tanah Papua? Sehingga mau memungut dan menempatkan sosok terduga Korupsi (maling uang rakyat) secara terhormat dengan posisi lebih tinggi sebagai kepala dinas Kesehatan Provinsi Papua Pegunungan?
Apakah Papua Pegunungan adalah provinsi tempat pembuangan para koruptor? Apakah benar Papua Pegunungan ini merupakan provinsi KKB sebagaimana julukan Marinus Yaung sehingga orang² bermasalah harus ditempatkan di provinsi ini? Ada permainan apa dan siapa yang sedang main permainan menjijikan ini? Deretan pertanyaan di atas adalah pertanyaan2 yang selama beberapa tahun terakhir sejak 2022 merasuki pikiran penulis dan sejumlah pemerhati isu-isu kesehatan dan aktivis anti korupsi Papua.
***
Tahun 2020 adalah tahun dimana Kabupaten Keerom dilanda kisruh hebat. Ratusan tenaga kesehatan (Nakes) dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) tingkat dasar maupun lanjutan bersepakat melakukan aksi mogok pelayanan selama berminggu-minggu hingga nyaris setahun. Para Nakes mengamuk karena hak-hak mereka tak kunjung dibayarkan Pemda Keerom. Dalam hal ini Dinas Kesehatan (Dinkes) Keerom.
Berawal dari temuan pembangunan lima Pusat Kesehatan Masyarakat (Dulu Puskesmas, sekarang PKM) yang dibangun di era Bupati Muh Markum pasca wafatnya Celcius Watae tak kunjung rampung. Meski belasan-puluhan milyar uang rakyat telah habis dipakai dalam pembangunan faskes dimaksud, yang mana dirintis setahun sebelumnya.
Demikian pula berbagai program penanganan Covid19 yang menelan anggaran milyaran rupiah tak jelas kelanjutan dan realisasinya. Hingga penemuan mark up dalam pembiayaan projek pengentasan Covid19 Kab Keerom. Bahkan Bendahara Dinkes Keerom didapati mengeluarkan sejumlah besar dana dengan LPJ fiktif. Total anggaran yang keluar dan diduga dikorupsi senilai Rp. 69.898.640.000,- atau terbilang (Enam puluh sembilan milyar delapan ratus sembilan puluh delapan juta enam ratus empat puluh ribu rupiah).
Berikut rinciannya: 1) Pembangunan 4 Puskesmas Afirmasi Jokowi: PKM Waris, Senggi, Ubrub dan Kenandega Rp.37.990.646.000; 2) Mark Up Pengadaan APD Keerom Rp. 659.930.000; 3) Mark Up pengadaan termogen penanganan Covid19 Rp. 258.500.000; 4) Penyalahgunaan dana pembayaran insentif tim gerak cepat dan tenaga kesehatan RSUD dan ruang isolasi bulan April-Mei 2020 dengan total anggaran Rp.580.000.000; 5) Penyalahgunaan dana Covid19 dari Refocosin Dana APBD pemerintah Kab Keerom yg tdk sesuai peraturan yg berlaku dan tanpa melalui mekanisme dgn total anggaran Rp.30.143.500.000; 6) Pertanggung jawaban fiktif bendahara pengeluaran dinkes Kab.Keerom utk dana bantuan operasional kesehatan PKM Waris dgn total Rp.270.004.000,-.
Inilah ironi negeri Otsus, negeri emas di surga kecil jatuh ke bumi, konon katanya demikian. Tapi fakta selalu berbanding terbalik dari indah manisnya jargon atau sebutan semacam itu. Ditengarai menjadi provinsi berkekhususan tapi masyarakat Papua selalu tidak pernah jauh dari sebutan kata miskin, pesakitan, bodoh, terbelakang dan terisolasi. Padahal juga ulah para tikus berdasi semacam ini.
Dana Otsus digadang-gadang menjadi semacam aksi nyata solutif dalam menyelesaikan paradox sebutan tadi. Namun sayang, dana tersebut yang digelontorkan utk memenuhi kebutuhan peningkatan kesejahteraan rakyat justeru gemar dikorup sama para pejabat- para tikus maling berdasi. Dari Jakarta rakyat kerap hanya dengar nilai kucuran dana Otsusnya yang besar fantastis tetapi selalu raib dalam perjalanan Jakarta-Papua sebelum sampai kepada masyarakat kecil di _grass root_.
Dalam konteks kasus dugaan Korupsi Kab Keerom memang cukup seksi. Karena terduga koruptor dan kepala daerah yang diduga turut ‘bermain di air keruh’ adalah warga non asli Papua. Ini menjadi kasus unik karena jarang pejabat non OAP tersandung kasus Korupsi di Papua. Apalagi dengan nominal fantastis hampir 1 Triliunan. Lazimnya Pejabat OAP yang sering masuk tindakan busuk berbau korupsi, kolusi dan nepotisme.
Panji Agung Mangkunegoro, Oktaf Gombo dkk dari LSM Gempur bersama aktivis LSM Geber dan FPPD adalah pahlawan warga Keerom yang pada tahun 2020 melakukan aksi mendampingi warga masyarakat Keerom khususnya nakes memalang kantor beberapa PKM (Senggi, Waris, Ubrub dam Kenandega) termasuk Web dan PKM Arso Kota sebelum akhirnya mereka menutup dinkes Kab.Keerom dengan tuntutan utama: Kadinkes Keerom Dr. Ronny Situmorang, M. Kes harus undur diri dari jabatan Kadinkes. Mereka mmengawal kasus Itu hingga melapor ke Kejaksaan Tinggi Papua (Kajati).
Usut punya usut. Kadinkes Keerom bukan malah melunak dan legowo malah balik menjadi arogan. Seolah tak bersalah. Tak pernah maling uang masyarakat kecil Keerom. Tanpa malu, si kadinkes malah menunjukkan arogansinya ketika hendak ditemui insan Pers. Nada tinggi seolah terdesak dan tersudut menolak diwawancarai wartawan terjadi kala itu. Meski akhirnya ybs mau membuka suara, nada tak bertanggung jawab pun terlontar. Kadinkes mengatakan bahwa perjalanan berhari2 warga masyarakat untuk berobat sbg suatu kelaziman.
Akhir yang ironis. Laporan 6 LSM Papua yang bergerak dijalanan anti korupsi dinakhodai beberapa aktivis seperti Panji dan Okto tadi, pun tak menemukan solusi sebagaimana harapan dan tangisan masyarakat Keerom, baik yang telah pergi karena kelalaian Yankes sebelum, selama dan sesudah kisruh korupsi Dinkes itu terjadi. Kajati Papua yang dikepalai Nikolaus Kondomo tak pernah menindaklanjuti laporan kasus Korupsi itu. Mengapa bisa demikian dan kenapa? Sebagai orang Kristiani, tentunya hanya Pak Niko, Ronny dan Tuhanlah yang tahu kasus itu.
Seiring perjalanan waktu, setelah nyaris memakan waktu setahun kasus korupsi yang sempat menghentikan seluruh aktivitas pelayanan kesehatan di Kab Keerom itu, kembali dibuka setelah Dr. Muh. Ridwan Rumasukun ditunjuk sebagai PJ Bupati oleh Gubernur Lukas Enembe dan langsung bergerak dalam 2 hari dengan mencopot Kadinkes Keerom.
Menurut keterangan PJ Bupati Keerom kasus Korupsi Dinkes Keerom telah menjadi atensi Wagub Papua dan sesuai arahan pak Wagub Alm.Klemen Tinal, tugas utama PJ bupati Keerom adalah menyelesaikan kasus dinkes Keerom segera. Alhasil Ronny Situmorang pun dilengserkan pada 29 September 2020 berselang 2 minggu pasca dilaporkannya Kadinkes Keerom tsb ke Kejati Papua oleh LSM Gempur dan sejumlah Nakes Keerom.
Berita pencopotan Kadinkes membawa kelegaan dan rasa gembira bagi para Nakes dan juga masyarakat Keerom. Dunia Kesehatan Keerom berhasil diselamatkan dari potensi agen patologis yang beresiko merampok dan menyengsarakan masyarakat Kab Keerom secara leluasa di masa depan. Masyarakat Keerom patut berterima kasih atas ketegasan PJ Bupati, Muh.Ridwan Rumasukun (Kini PJ Gubernur Papua).
Namun ada pertanyaan muncul di benak khalayak umum belakangan. Yakni bagaimana nasib tindaklanjut kasus Korupsi si maling uang rakyat yang dicopot? Usut punya usut, disaat pelaporan kasus hukum itu, pihak Kejati waktu itu menyatakan menerima laporan dan akan mempelajari laporan dimaksud. Lalu melakukan proses penyelidikan lebih lanjut. Sejumlah Nakes bersama 7 LSM yang melapor menerima arahan pihak Kejati dan meninggalkan Kantor Kejati Papua Dok 9.
Tetapi tetap dengan suatu perasaan mengganjal sebab mereka masih tidak bisa menerima secara akal sehat, ketika sejumlah 12 orang perwakilan yang hendak masuk dibatasi hanya 2 orang dengan alasan Covid19. Tetapi dengan negosiasi alot akhirnya hanya 7 orang yang dinyatakan boleh masuk untuk menyerahkan laporan temuan dugaan tindak pidana Korupsi Kadinkes Keerom tsb.
Pernyataan bung Panji Agung Mangkunegoro soal “beratnya membela dan mencari kebenaran bagi masyarakat Keerom” menjadi semacam sinyal awal soal dugaan akan adanya aroma ‘U dibalik B’ di tubuh Kejati Papua kala itu yang menyiratkan akan berat proses pencarian keadilan di kantor tsb. Rupanya benar adanya. Kasus itu hilang jejak dan kabar hingga kini.
Setahun-dua tahun berlalu. Kasus itu tak ada titik terang kelanjutannya, hingga memasuki tahun 2022. Sejumlah pihak meminta KPK mengambil alih kasus itu agar bisa ada keadilan dan efek jerah bagi para pelaku Korupsi yang merugikan uang negara dan menyengsarakan masyarakat. Yang terakhir sorotan pun masuk dari tokoh senior politik Papua Pegunungan, Paskalis Kossay yang mengkritik pelantikan (Ronny Situmorang) sebagai PJ Kadinkes Papua Pegunungan oleh PJ Gubernur Nicolaus Kondomo hanya menampar muka sendiri.
LSM Ampera Papua, ketua LSM WGAB Papua bersama anggota DPR RI asal Papua, Mesak Mirin hingga sejumlah tokoh lainnya menyerukan agar KPK segera mengambil alih penuntasan kasus korupsi Mantan Kadinkes Keerom 2020 itu. Mereka mempertanyakan lamanya kerja pengusutan kasus tsb oleh Kejati Papua. Mereka meminta bila Kejati tidak mampu selesaikan sebaiknya dilimpahkan saja ke KPK. Sementara itu kasus korupsi yang menyeret eks Sekda Keerom (2024) dan Bupati Keerom (2021) sudah diusut Polda Papua. Sedangkan kasus yang melilit inisial RS masih terkatung-katung nasibnya, padahal nominal anggaran negara yang diduga dikorupsi eks Kadinkes lebih besar dibanding dua kasus lainnya.
Sampai sejauh ini komitmen para penegak hukum di tanah Papua menjadi patut dipertanyakan. Apakah mereka masih serius mengusut dugaan tindak pidana korupsi tanpa pandang buluh? Ataukah sebaliknya? _Equality before the law_ atau asas persamaan dimata hukum yang selama ini gemar digembar-gemborkan seolah hanya menjadi lipstik. Realitasnya beda. Tidak ada persamaan dimata hukum, yang ada hanya praksis perbedaan di mata hukum.
Kasus Korupsi mantan Gubernur Papua, mendiang Lukas Enembe yang belakangan ditemukan dan hanya merugikan uang negara senilai 1 Milyar rupiah saja diusut hingga tuntas. Dengan pengamanan bak mengusut penjahat kelas teri. Sementara kasus dugaan korupsi Kadinkes Keerom senilai 69 milyar yang nyaris 1 Triliun tidak jelas mengambang. Ada apa dengan upaya pemberantasan di negeri ini?
Ironisnya antara percaya dan tidak percaya. Publik Papua dihebohkan dengan info yang manis bagi si maling, ia diberikan karpet merah nan megah oleh kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nikolaus Kondomo yang kala itu menjabat sebagai PJ Gubernur Papua Pegununhan sebagai PJ Kepala Dinas Kesehatan Papua Pegunungan (Lagi-lagi Pak Nikolaus Kondomo, ada hubungan spesial apa mereka ya?). Meski berbagai kritik dan sorotan masuk agar PJ Gubernur PP meninjau kembali keputusannya, hingga PJ Gubernur Kondomo diganti 2023, si tikus Maling uang rakyat masih duduk megah di singgasana empuk kekuasaan Dinkes Papua Pegunungan.
Bahkan ada wacana dia akan didapuk sebagai Kadinkes definitif Provinsi Papua Pegunungan yang mana akan semakin membuatnya berjaya di atas penderitaan ribuan nyawa masyarskat Kab Keerom sejak 2020. Lalu di Papua Pegunungan si tikus maling akan beraksi mengulangi habitusnya merampok, memaling uang rakyat Papua Pegunungan yang dilihat lebih mudah ditipu dengan kelicikannya tanpa perlawanan berarti?
——————-
)* Penulis adalah kordinator Forum Peduli Pembangunan Kesehatan Provinsi Papua Pegunungan (FP2KP3)