Oleh: Soleman Itlay
Pada 1881, Inggris masuk di Afrika dan mulai merubah nama-nama dari segala sesuatu yang ada disitu. Mulai dari rumput, telaga, kali, danau, teluk, bukit, pegunungan dan lainnya.
Pada tahun 1787, sekitar 750 orang dari Inggris mulai masuk di Australia. Tidak lama kemudian datang lagi gelombang berikutnya. Begitu terus hingga mereka semakin banyak.
Setelah berkuasa, mereka menekan ruang gerak orang Aborigin. Orang pribumi setempat tidak berdaya dan semakin termarjinalkan. Pihak yang berkuasa, hingga saat ini mengubah identitas dari segala sesuatu yang ada.
Pada 1853, Kaledonia Baru dianeksasi oleh Prancis. Sejak Prancis berkuasa di negara itu, ia mengubah segala identitas dan entitas, yang menjadi simbol dari orang pribumi. Hingga saat ini banyak tumbuhan, tempat dan lainnya kehilangan roh, jiwa, filosofi, arti dan maknanya.
Sejak 1996, Belanda mulai memasuki wilayah Indonesia (Ambon-Sabang). Kemudian menyusul ke Papua yang berada di bagian timur Indonesia pada abad ke-19. Sejak dia berkuasa, banyak mengubah identitas yang ada dan dibangun oleh para leluhur, orang tua dan generasi penerus masa lalu.
Di Papua, Belanda mengubah sejumlah nama pegunungan, kali, sungai danau lainnya. Misalnya, pegunungan Bogenville di batas Skouw-Yambe, pegunungan Dafonsoro, Pegunungan Wilhelmina dan lainnya.
Setelah Indonesia menganeksasi Papua pada 1 Mei 1963, dan PEPERA 96 yang didahului dengan operasi militer yang menjijikkan dan paling banyak memakan korban, yakni “Operasi Militer Trikora,” ia mulai mengubah nama telaga, kali, sungai, bukit, gunung, jembatan, bandara, jalan darat, kompleks dan lainnya.
Misalnya, dari pegunungan Hiriakup diberi nama Trikora; Irimuliak disebut Jayawijaya; Wilhelmina yang diberikan nama oleh Beranda di Pegunungan Bintang, kemudian Indonesia ganti dengan pegunungan Mandala dll.
Dalam kota banyak kasus. Sebuah tempat yang memiliki nama berdasarkan peristiwa, filosofi, makna dan arti sejak ribuan tahun masa lalu, dimusnahkan dengan cara menggantikan nama dan identitasnya.
Pendekatan macam ini, diantaranya dapat kita lihat dari [misalnya] jalan Irian, Soekarno, Soeharto, Ahmad Yani, Sudirman, Syarir, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Ambon, Ternate dan lainnya.
Pertanyaannya: apakah orang-orang ini memiliki hubungan dengan leluhur dan nenek moyang orang Papua? Apakah orang-orang ini pernah menumpahkan darah untuk mencapai sebuah hakekat kedamaian?
Apa relevansi nama-nama kota, pulau dan lainnya dari luar Papua, Indonesia wilayah lain ditanam dan diabadikan di Tanah Papua, termasuk di Lembah Hugulama?
***
Bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia merupakan ancaman terhadap seluruh entitas segala satwa yang hidup di Tanah. Bahasa baru pada daerah koloni merupakan jalan transformasi [depopulasi] ilmu pengetahuan, termasuk terhadap identitas serta tatanan hidup masyarakat adat komunal.
Depopulasi bukan semata-mata terhadap keberadaan entitas penduduk lokal, melainkan juga terhadap identitas pada segala sesuatu yang terdapat pada sebuah tempat yang relatif mengalami degradasi moral, sistem dan tatanan hidup, bahasa, kebudayaan dll.
Sebutan Owasi-owasika menggunakan bahasa asing ini juga menjadi jalan masuk depopulasi pada ilmu pengetahuan yang pernah dikonstruksikan Tuhan melalui berkat kehadiran para leluhur dan nenek moyang masyarakat adat setempat.
Sekaligus membuka jalan alienasi baru dari eksistensi hidup yang sesungguhnya menuju pada penghilangan identitas Owasi-owasika.
Manusia yang terlibat di dalam proses perubahan tersebut menjadi subjek bermata dua. Pada satu sisi menjadi sarana yang paling penting untuk membunuh entitas rumput ini secara sistematis atas nama apapun. Tetapi juga di lain sisi, membangun entitas transformasi dengan dalil tertentu.
Kita adalah kawan sekaligus lawan untuk segala sesuatu. Kadang bisa bersahabat dengan alam, bahkan dengan alam sekitar, tetapi kadang bisa menjadi musuh dari segala sesuatu.
Kita semakin bersahabat ketika mampu membuka diri, berdialog dan saling menghargai, mengakui dan menghormati satu sama lain. Bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan, dan binatang serta rumput dan pepohonan sekaligus.
Sekarang tergantung dari kita: apakah kita ingin menjadi musuh terhadap entitas dan identitas hidup kita? Atau menjadi kawan pada segala sesuatu yang ada dengan cara sederhananya adalah saling merawat identitas yang ada menurut apa yang Tuhan kehendaki melalui peran para orang tua kita pada masa lalu?
Kadang orang bisa meminjam tangan kita untuk membunuh diri kita [identitas]. Jika membunuh kemanusiaan adalah jalan terakhir, maka mengubah identitas pada Owasi-owasika menjadi salah satu jalan awal menuju pemusnahan.
Saya lebih suka seorang pribumi India datang ke honai adat saya dengan bahasa, budaya dan identitasnya, ketimbang datang meminjam identitas dari seorang Yahudi yang baru datang pula.
Adalah sebuah metonimia kota amoralis yang cukup menjijikkan. Bagaimana tidak, sebab bahasa kolonisasi adalah alat alienasi yang paling lunak untuk mengupas entitas hidup. Setelah membuka kebun, selanjutnya membangun entitas baru guna menghilangkan yang asli, yang telah ada dan seterusnya.
Semoga pada momen kebangkitan Yesus ini kita bangun dari tidur panjang. Bangunkan kesadaran yang tengah dilahap arus modernisme yang sarat dengan kolonisasi. Bangkit. Bangkitkan jiwa dekolonisasi dalam realitas penghisapan yang panjang ini.
Noth!
PN|Kamis, 9 Mei 2024