Wamena, nirmeke.com – Pada Sabtu, 24 Februari 2024, umat Katolik Kapela “Santo Yohanes Pembaptis” Yogonima, Paroki “Kristus Gembala Kita” Pugima, kembali melakukan aksi “Eka Sula” yang ke-1 tahun 2024. Aksi ini dilakukan dalam rangka “membangun gereja manusia.”
Aksi Eka Sula ini dilakukan di halaman Gereja Katolik, Kapela Santo Yohanes Pembaptis Yogonima, Paroki Kristus Gembala Kita Pugima, atau Kampung Yogonima, distrik Itlay-Hisage, Jayawijaya, Papua Pegunungan.
Setidaknya, terdapat 50-an umat. Kebanyakan anak-anak kecil dibawah umur (anak-anak Sekali). Orang-orang besar rata-rata tidak masuk karena sibuk dengan urusan politik praktis (Pilpres dan Pileg 2024).
Adapun dana yang sudah terkumpul pada hari ini Rp 864,000.00 (terbilang: delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah).
Aksi ini bertujuan untuk membangun gereja manusia. Gereja manusia yang dimaksud adalah gereja manusia atau anak-anak sekolah yang putus sekolah ataupun yang sedang sekolah di berbagai jenjang pendidikan, baik dari Taman Kanak-Kanak ((TK) hingga Perguruan Tinggi ((PT).
“Kami kumpul dari hasil kebun untuk membiayai anak-anak kami yang sedang dan putus sekolah, terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan seterusnya. Umat secara sukarela sumbang seribu dua ribu untuk meringankan beban dari orang tua,” kata Jeremias Hisage, salah satu tokoh masyarakat setempat.
Hal ini dilakukan semata-mata demi mempersiapkan jalan bagi generasi penerus yang merupakan tulang punggung keluarga, honai adat, tanah adat dan masyarakat adat.
“Tidak harus buat proposal, dan mengemis ke siapapun. Kita ini tuan tanah. Kita tidak perlu biayai sekolah dari hasil tipu-tipu di kantor. Kita bisa kelola tanah adat. Kita bisa jalankan sumbangan sukarela dan kita biayai kita punya anak-anak sendiri hasil olah tanah adat,” kata Alez Hisage, salah satu penggerak Sekali di Kapela ini.
Umat disini mulai berpikir bahwa dengan hasil menjaga tanah adat dan hutan adat, bahkan dengan hasil mengelolanya bisa membuat mereka eksis. Termasuk datangkan uang untuk membiayai anak-anak sekolah.
“Paling penting adalah jangan kita kehilangan tanah adat. Sebab kehilangan tanah adat akan menjadi jalan masuk untuk kita menjadi hancur, asing dan tidak berarti apa-apa. Kita bisa menjadi apa saja, termasuk menjadi tuan atas dirinya hanya dengan menjaga dan merawat tanah adat. Karena itu, mari kita rawat tanah adat dan biayai anak dari hasil olah tanah adat. Ini jauh lebih terhormat ketimbang jual tanah baru sekolahkan anak, apalagi mabuk,’ ujar Hisage.
Aksi yang sama akan dilakukan setiap bulan pada akhir pekan. Harapannya adalah Aksis ini tidak sekedar panas-panas tai ayam, melainkan secara konsisten dilakukan setiap bulan untuk membangun gereja manusia ataupun mempersiapkan jalan bagi generasi penerus. (*).
Pewarta: Soleman Itlay