Wamena, nirmeke.com — Dari 204 orang/jiwa di kapela Santo Yohanes Yogonima, Paroki Kristus Gembala Kita Pugima, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan mencatat terdapat sebanyak 127 orang tidak tahu baca dan tulis. Orang yang bisa baca-tulis hanya tercatat 79 orang.
Dari data ini menunjukkan bahwa dalam postur gereja katolik di tanah Papua, khususnya keuskupan Jayapura masih terdapat masalah pendidikan yang sangat serius. Angka ini ditemukan melalui Seminar Sehari dan Fokus Group Diskusi (FGD) pada 4-6 Januari 2024.
Kegiatan ini merupakan serangkaian dari Perayaan Lepas Sambut Tahun Baru 2024 Dalam Nuansa Orang Hugula, yang dilakukan oleh gereja setempat pada setiap tahun. Kali ini perayaan dilakukan dengan tema “Membangun Gereja Manusia Mandiri.”
Dalam FGD membahas secara komprehensif terkait beberapa bidang karya pastoral, antara lain; pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, perempuan dan tanah adat. Dari semua bidang ini, pembahasan yang paling menarik terdapat di bidang pendidikan. Dimana lewat FGD ini dapat mengungkapkan fakta krisis pendidikan yang luar biasa setelah gereja ini berdiri selama 20-an tahun pada belakangan ini.
Dalam kategori anak-anak, sekurang-kurangnya terdapat 80 anak dibawa umur. Dari jumlah tersebut, 58 orang dipastikan belum tahu baca tulis. Hanya 22 orang/anak saja yang bisa baca tulis. Data lain menyangkut orang yang bisa baca tulis. Setidaknya terdapat 79 orang. Dari jumlah tersebut, laki-laki masuk sebagai kategori mayoritas. Dimana jumlah mereka mencapai 46 orang. Sedangkan perempuan hanya berjumlah 33 orang.
Keadaan yang sama berlaku di kapela santo Lukas Lukaken, santo Simon Sagesalo, santo Kornelius Kemisake, santo Matias Wuroba, Santo Hieronimus Helepalegem, santo Thomas Siliwak dan masih banyak lagi. Tetangga gereja seperti Kingmi di Sumunikama dan GKI DI Tanah Papua, Jemaat Efesus Tomisa juga memiliki keadaan pendidikan yang sama.
Kondisi ini ikut dipengaruhi oleh akses pendidikan yang sangat terbatas pasca penutupan SD YPPK Lukaken pada tahun 80-an. Selain itu, keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas belajar mengajar yang minim mengakibatkan anak-anak di wilayah Itlay-Wisage sulit mendapatkankan hak-hak dasar pendidikan sejak usia dini.
Keterbatasan biaya pendidikan untuk anak—anak melanjutkan studi pada jenjang pendidikan lebih lanjut juga menjadi masalah yang sangat serius. Hal ini didukung oleh keterbatasan ekonomi keluarga yang kurang produktif. Pendapatan yang minim sangat mempengaruhi keluarga dalam mendukung nasib dan masa depan anak untuk mencapai cita-citanya.
Ironisnya, pada saat yang hari ini kita sibuk membangun gedung gereja, sekolah, pastoran dan lainnya yang baru. Sebuah gedung yang sangat indah, mewah dan megah pula. Pada gilirannya nanti akan memberikan beban wajib kepada umat, termasuk mereka yang miskin, susah, sakit, menderita, putus sekolah, nganggur dan seterusnya.
Dalam satu keluarga diberikan beban tanggungan satu juta rupiah hingga lebih dari lima juta rupiah. Hingga gerejanya menghabiskan dana puluhan hingga triliunan rupiah. Kesan gereja katolik hari ini lebih suka mengejar keindahan fisik arsitektur gereja yang tidak memiliki esensi sama sekali ketimbang membangkitkan dan menyelamatkan gereja manusia yang hidup sekarat dan menderita parah dibawa kaki Salib Yesus Kristus.
“Oleh karena itu, setelah melihat dinamika pastoral dan merefleksikan bersama melalui kegiatan seminar sehari dan FGD ini, kami mengajak pimpinan gereja katolik di tanah Papua, khususnya di keuskupan Jayapura agar kedepan lebih memprioritaskan pembangunan gereja manusia ketimbang pembangunan gedung gereja fisik yang mati dan tidak bernyawa,” jelas Soleman Itlay, yang juga merupakan penggerak kegiatan perayaan tersebut. (*)