Oleh: Marinus Mesak Yaung
Nasionalisme Indonesia Di Papua Dalam Ancaman Serius : Catatan Khusus Untuk Pangdam Cenderawasih Dan Kapolda Papua.
Video viral seorang guru di ruangan kerjanya di Papua, di datangi beberapa prajurit TNI untuk memintanya melaksanakan upacara bendera di sekolahnya, setiap hari Senin. Kemungkinan guru tersebut adalah kepala sekolah dari sekolah tersebut.
Banyak orang Papua memprotes tindakan para prajurit TNI tersebut. Mereka berasumsi para prajurit TNI sudah bertindak melampaui tugas dan kewenangannya. Mereka juga beropini bahwa ini proses mengIndonesiakan orang Papua yang keliru.
Terlepas dari semua pandangan kritis dan negatif orang Papua, saya ingin membaca kasus ini dari perspektif integrasi dan kedaulatan negara di Papua. Perspektif yang menurut hemat saya tepat digunakan jika ada kasus yang berkaitan erat dengan institusi TNI dan perilaku prajuritnya di lapangan.
Poin pertama saya adalah institusi TNI adalah pagar utama kedaulatan negara dan integrasi bangsa di Papua. Tugas utama ini, para prajurit TNI lakukan dengan penuh loyalitas dan kedisplinan. Bahkan nyawa mereka adalah taruhan terakhir untuk menjadi pagar kedaulatan negara.
Karena itu, ketika ditemukan fakta dilapangan bahwa hampir sebagian besar siswa – siswi di sekolah – sekolah di Papua, dari jenjang Sekolah Dasar ( SD ) sampai sekolah Menengah Atas / Umum ( SMU ), di wilayah Papua Pegunungan dan Papua Tengah, sudah sering tidak lagi melaksanakan upacara bendera rutin setiap hari senin, maka ini bentuk ancaman real terhadap kedaulatan negara di Papua.
Ketika sudah timbul ancaman terhadap keamanan nasional, maka prajurit TNI sudah harus tampil di depan untuk menghentikan sedini mungkin ancaman tersebut dengan pendekatan non perang. Dengan mengembangkan pendekatan teritorial, berbasis local wisdom.
Pendekatan teritorial berbasis local wisdom ini, salah satu yang perlu diperkuat oleh institusi TNI selama tugas operasi di Papua. Tanggung jawab memperkuat institusi TNI dengan local wisdom values, adalah salah satu tanggung jawab lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ). Selama ini, MRP tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ini. Kerja lembaga ini tidak jelas, sehingga saya berharap di bubarkan saja lembaga ini.
Kalau prajurit TNI dalam operasi teritorial, memahami tentang local wisdom masyarakat Papua, di berbagai wilayah adatnya, saya yakin bahwa hati dan pikiran orang Papua bisa dimenangkan tanpa harus mengeluarkan sebutir peluru. Kedaulatan negara di Papua bisa ditegakkan, nasionalisme Indonesia bisa bangun, tanpa harus saling bunuh sesama anak bangsa.
Poin kedua saya adalah institusi TNI dan perilaku prajurit TNI dilapangan adalah wajah Negara dan Pemerintah Indonesia di mata orang Papua. Apa yang dilakukan oleh para prajurit TNI di lapangan, akan meninggalkan kesan dan membentuk persepsi orang Papua terhadap negara dan Pemerintah Indonesia.
Saya bisa memahami tekanan psikologis yang mengidap para prajurit TNI yang sudah lama bertugas di wilayah – wilayah konflik di Papua. Beberapa oknum prajurit TNI, kadang bertindak kasar, penuh teror dan intimidasi, bahkan tidak terkontrol hingga menghilangkan nyawa orang Papua.
Situasi di wilayah konflik seperti Papua, memang unpredictable. Siapa saja bisa menjadi target korban. Prajurit TNI juga terpaksa harus mengembangkan doktrin ” To kill or to be killed ” di lapangan. Karena itu, rekomendasi saya pertama, prajurit non organik TNI yang bertugas di Papua, harus di rolling paling lama 8 bulan.
Kedua, setiap prajurit TNI, meskipun dilatih untuk berperang, bukan menegakkan hukum seperti polisi, tetapi perlu juga untuk dibekali dengan local wisdom masyarakat Papua di berbagai wilayah adatnya.
Ketiga, nasionalisme Indonesia memang sedang terancam di seluruh wilayah tanah Papua. Menegakkan dengan tegas simbol – simbol nasionalisme Indonesia, seperti upacara bendera di sekolah, di semua jenjang pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi di Papua, itu penting dan strategis. Namun yang perlu diperhatikan adalah metodologi dan instrumen yang digunakan. Instrumen pendidikan dengan metodologi mengajar dan mendidik, perlu dievaluasi dan dikembangkan lebih baik lagi.
Keempat, saran terakhir saya, Bapak Pangdam Cenderawasih dan Bapak Kapolda Papua, sudah harus berpikir untuk membentuk ” Cyber Troops ” di Papua. Saya siap membantu dan memimpin Cyber Troops Papua, karena saya dan beberapa teman punya sedikit pengalaman dari ikut trainning kegiatan ini di luar negeri. Amerika Serikat, Rusia, China dan India, misalnya, memiliki Cyber troops yang hebat – hebat, dan mereka semua belajar dari Cyber Troops Israel.
Indonesia negara besar tapi belum punya Cyber Troops. Saran saya kepada Bapak Pangdam Cenderawasih dan Kapolda Papua, karena di Papua ini nasionalisme Papua dalam ancaman serius, terutama di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah, maka segera bentuk Cyber Troops Papua, dan saya siap memimpinnya bersama beberapa teman.
Saya akhiri saran saya kepada Bapak Pangdam dan Bapak Kapolda Papua dengan statement, operasi tempur perang menegakkan nasionalisme Indonesia di Papua dan menjaga integrasi dan kedaulatan negara, harus dipastikan dulu medan perang utamanya. Medan perang utamanya adalah medan internet, atau dunia digitalisasi. Kalau dunia digitalisasi dimenangkan, maka tidak akan ada lagi prajurit TNI yang datang ke sekolah – sekolah untuk intimidasi dan teror guru dan siswa – siswi untuk upacara bendera setiap hari senin di tanah Papua.
)* Dosen Universitas Cenderawasih Papua.