Adil Untuk PerubahanAdil Untuk PerubahanAdil Untuk Perubahan
  • Tanah Papua
  • Berita Papua
    • Polhukam
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Perempuan & Anak
    • Ekonomi & Bisnis
    • Infrastruktur
    • Lingkungan
    • Olaraga
  • Jendela Papua
    • Kuliner
    • Lensa
    • Pariwisata
    • Travel
    • Seni & Budaya
  • Pena Papua
    • Catatan Aktivis Papua
    • Sastra
    • Cerpen Papua
    • Artikel
    • Siaran Pers
    • Berita Foto
  • Editorial
  • Advertorial
Reading: Diskriminasi Rasial di Indonesia Takkan Pernah Hilang Cepat
Share
Sign In
Notification
Font ResizerAa
Adil Untuk PerubahanAdil Untuk Perubahan
Font ResizerAa
  • Headline
  • Tanah Papua
  • Kesehatan
  • Ekonomi & Bisnis
  • Pendidikan
  • Artikel
  • Cerpen Papua
  • Pariwisata
  • Editorial
  • Tanah Papua
  • Berita Papua
    • Polhukam
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Perempuan & Anak
    • Ekonomi & Bisnis
    • Infrastruktur
    • Lingkungan
    • Olaraga
  • Jendela Papua
    • Kuliner
    • Lensa
    • Pariwisata
    • Travel
    • Seni & Budaya
  • Pena Papua
    • Catatan Aktivis Papua
    • Sastra
    • Cerpen Papua
    • Artikel
    • Siaran Pers
    • Berita Foto
  • Editorial
  • Advertorial
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2025 Nirmeke. Design by Team IT Nirmeke. All Rights Reserved.
Adil Untuk Perubahan > Pena Papua > Catatan Aktivis Papua > Diskriminasi Rasial di Indonesia Takkan Pernah Hilang Cepat
Catatan Aktivis Papua

Diskriminasi Rasial di Indonesia Takkan Pernah Hilang Cepat

admin
Last updated: October 15, 2023 14:28
By
admin
Byadmin
Follow:
2 years ago
Share
20 Min Read
SHARE

Oleh Soleman Itlay

Iklan Nirmeke
Ad image

Diskriminasi Rasial di dunia itu memiliki kesamaan soal motif. Yang jelas berasal dari vsatu sumber yang terletak pada perbedaan ras secara biologis dan antropologis. Perkara ini memiliki ikatan dengan masalah agama dan evolusi manusia (darwinisme: ikan, amphibi, tetlptil dlsb). Tetapi dalam perkembangan masyarakat manusia di dunia mulai termetafosis sesuai dengan geografis masing-masing.

Artinya, Setipa negara itu tentu saja namanya diskriminasi rasial itu ada. Tidak mungkin tidak ada. Pada hakekatnya diskriminasi rasial itu berasal dari satu mata proyek produksi sosial manusia melalui tindakan, ujaran, sikap, perilaku, karakter, pembawaan dan lainnya. Namun, bagaimanapun juga, masing-masing negara mempunyai ciri khas dan motif diskriminasi rasial tersendiri. Kali ini, sajikan informasi seputar diskriminasi rasial kolonial Indonesia terhadap orang West Papua.

Bertolak Ke Masa Lalu

Sejarah diskriminasi rasial kolonial Indonesia terhadap kaum budak West Papua itu panjang mulai ditanam pada abad ke-17 (1880-an). Mulai berkembang bersamaan dengan kehadiran Sultan Tidore, para bahariwan maupun peneliti asal Spanyol, Portugis, Prancis, Inggris; para misionaris Kristen: Zendelibg dan gereja Misi Katolik; kemudian disusul oleh tentara VOC di West Papua. Diskriminasi rasial kolonial Indonesia pada orang West Papua tumbuh diatas jejak sejarah ini.

Buah diskriminatif rasial kolonial Indonesia sendiri berasal dari ambisi politik kekuasaan Soekarno di West Papua atas Kolonail Belanda. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan awal Soekarno untuk menjadikan West Papua sebagai daerah koloni baru. Presiden pertama kolonial Indonesia itu mengeluarkan pernyataan yang sangat keliru, tidak benar, tidak masuk akal sehat dan sangat artifisial. Apa kata dia?

“Akan tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam otobiografi Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya dipotong begitu saja tanpa membalas sedikitpun? Apakah orang tidak akan berteriak kesakitan, apabila dipotong ujung jarinya sekalipun hanya sedikit?”

Memang sangat tidak berlandas sejarah. Tapi lagi menurutnya “seluruh wilayah bekas Hindia Belanda adalah bagian dari Indonesia”. Presiden penghianat bagi orang West Papua dan pahlawan bagi orang Indonesia ini sudah mulai angkat bicara sebelum kolonial Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Bahkan pasca kemerdekaan sampai pada PEPERA 1969. Lebih lanjut silahkan baca di https://historia.id/politik/articles/papua-dan-ambisi-presiden-pertama-P3q1X.

Dalam rapat BPUPKI, Muhammad Hatta menolak pernyataan Soekarno. Dia menolak karena orang West Papua itu bangsa sendiri. Beda dari kolonial Indonesia. Secara tegas dia sampaikan dalam forum tersebut, bahwa orang West Papua juga berhak berdiri sendiri. Namun, pada akhirnya Hatta kalah dalam soal dukungan dari orang lain. Berikut ini pernyataan Hatta yang menentang pernytaaan Soekarno untuk orang West Papua.

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.

Lebih lanjut silahkan klik dan baca di https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ. Perdebatan ini bahkan ikut mewarnai dalam KMB yang dilaksanakan pada 23 Agustus 1948 di Deg Haag. Tetapi sekali lagi, penolakan Hatta berujung sia-sia dengan pretensi yang penuh dengan motif hasrat politik aneksasi ala Soekarno saat itu.

Pernyataan historis ini merupakan awal untuk mencaplok West Papua tanpa kompromi dengan kaum pribuminya. Lebih dari pada itu mendasari semangat politik aneksasi, yang nantinya akan menopang kestabilan kekuasaan kolonial Indonesia di West Papua di segala sektor. Terkesan sepeleh. Tetapi ini mempunyai makna historis dan pengaruh yang sangat besar.  Ibarat membuka jalan di hutan belukar sebelum melakukan sesuatu di tempat tujuan.

Iklan Nirmeke
Ad image

Dengan ini jelas. Bahwa benih diskriminasi rasial kolonial Indonesia itu berumur sangat tua. Buah diskriminasi rasialnya ditanam diatas jejak langkah orang Eropa, Latin, dan misionaris asing. Mulai bersemi seiring dengan invasi militer kolonial Indonesia melalui operasi “Trikora” yang mulia dicetuskan pada 19 Desember 1961-saat ini). Tumbuh kembang dalam sel-sel sistem dan struktur kekuasaan serta kehidupan kaum budak minoritas (inferior).

Selama 57 tahun (1 Mei 1963-saat ini), diskriminasi rasial kolonial Indonesia terhadap kaum budak marginal West Papua semakin berakar dan populer dimana-mana. Hingga saat ini diskriminasi rasial menjadi tindakan dan perilaku laten kaum kulit sawo matang yang menganggap diri mereka lebih superior dari kaum minoritas inferior kulit hitam di Indonesia paling timur, West Papua.

Perlakuan Diskriminasi Rasial

Diskriminasi Rasial Indonesia terhadap orang West Papua itu merupakan reproduksi dari sistem politik perbudakan modern sekaligus identitas perlawanan kaum budak proletar pribumi West Papua, yaitu sistem politik aneksasi. Secara sepihak, kaum kulit sawo matang melihat kaum kulit hitam West Papua sebagai kaum primitif, bodok, kanibal, dan masih banyak lagi. Dalam pandangan bangsa kolonial, orang West Papua di Indonesia adalah bangsa kelas Z.

Di mata mereka, bakal pemerintah sekalipun, menganggap bahwa orang West Papua itu bukan manusia. Tetapi sama dengan hewan, binatang dan tumbuhan. Dari elit politik hingga masyarakat sipil kelas bawah juga sama. Mereka melihat orang berambut keriting di sebelah barat daya PNG yang berdaulat itu sama dengan ‘kera, monyet, orang utan, pisang dan lain sebagainya. Martabat, jati diri dan harga diri orang West Papua diinjak-injak tanpa ampun.

Nilai kemanusiaan orang West Papua di mata kolonial Indonesia bersama rakyatnya tidak ada nilai dan harga. Oleh karena itu, kecil besar bangsa kulit sawo matang memperlakukan kaum budak West Papua seperti binatang murahan di mata manusia. Mereka mengucapkan kata-kata rasis sampai bersikap di hadapan orang West Papua itu seperti tumbuhan pisang. Mayoritas orang kulit sawo matang Indonesia kurang peduli terhadap nasib dan masa depan kaum budak.

Penting Alam Tak Peduli Nyawa

Baca Juga:  Pantaskah OAP Berkontestasi Dalam Pilkada 2024?

Negara hanya mengejar kekayaan alam. Pemerintah tahunya mampu memutus paruh mata rantai pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan derajat kaum masyarakat yang melarat di pulau koloni itu. Tetapi pemerintahnya, pejabat negaranya sampai mayoritas kaum kulit sawo matang Indonesia tidak pernah menunjukkan rasa hormat, dan hargai terhadap orang West Papua.

Ini sangat faktual. Hampir semua perusaha di West Papua, seperti Freeport Indonesia, kelapa sawit, hotel, restoran, mall dan lainnya dikuasai oleh kaum mayoritas. Pemerintah menjadikan West Papua sebagai tempat cari nafkah bagi orang Indonesia. Menjadikan West Papua sebagai mata air keselamatan dan kehidupan kaum berkulit sawo mata. Di tempat yang sama, kolonial yang sama menjadikan sebagai pusat pendapat negara dan dapurnya Indonesia.

Tetapi apa yang dia lakukan pada saat yang sama? Di samping dia mengekploitasi sumber daya alam, mempekerjakan kaum miskin dan nanggur dari luar West Papua, dia juga, melalui aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia menangkap, menculik, menyiksa, menikam, menembak, dan membunuh kaum pribumi yang menolak karena lingkungan hidupnya rusak, matai airnya cemar; mata pencaharian hidup: kebun, berburu, meramu, beternak dna lainnya hilang dengan perusahaan maupun pembangunan atas fisik yang memusnahkan.

Belajar Dari Kasus Rasisme Surabaya

Kasus persekusi di asrama Kamasan III, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia pada 15 – 17 Agustus adalah bukti yang valid dan sulit dibantahkan. Sebelumnya, Tri Susanti dan Samsul Arifin memprovokasi aparat Kepolisian dan Tentara untuk mengepung mahasiswa West Papua disana. Aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia tibah dengan organisasi milisi dari sekte agama dan masyarakat sipil yang semuanya menggunakan atribut negara yang sangat jelas.

Dari luar asrama mahasiswa itu, mereka bertindak dan melancarkan kata-kata rasis. Kata-kata dalam video yang viral di YouTube demikian: hei…. monyet-monyet. Keluar monyet… Usir monyet-monyet itu”. Lebih lanjut silahkan klik dan nonton di https://youtu.be/EWlaG3sHit4. Aparat TNI-POLRI bersama milisi kolonial Indonesia kepung mahasiswa ini selama 3 hari. Hingga penghuni di dalam asrama ini tidka makan dan minum.

Mereka bertahan selama berjam-jam di asrama dengan kelaparan. Sejumlah warga atau kerabat mereka yang membawah makan minum disita oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia bersama milisi yang menguasai depan belakang asrama tersebut. Hal ini sangat memukul hati nurani dan kemanusiaan semua orang kulit hitam. Mereka tidak terima. Karena sudah menjatuhkan harga diri, lalu membuat anak-anak di asrama ini dikepung dan tinggal dalam kelaparan.

Video tersebut cepat tersebar luas di media sosial. Menganggu orang West Papua dengan cara biadap dengan menggunakan atribut negara kolonial Indonesia. Tentu sangat membuat orang West Papua marah besar. Peristiwa ini, bagi orang West Papua adalah sebuah penghinaan yang sangat tidak manusiawi. Sama halnya dengan kolonial Indonesia membuat api rasisme disana. Orang kulit hitam dan berambut keriting, West Papua di seluruh dunia mulai mengecam sana sini.

Hampir semua kota besar di seluruh tanah West Papua melakukan aksi demontrasi damai. Mereka protes kepada pemerintah kolonial Indonesia yang responnya lama dan terkesan membiarkan pelaku bersama masa persekusi tetap melancarkan aksi rasialnya di depan asrama secara bebas. Mereka juga meminta pelakunya ditangkap, diproses hukum dan dijatuhkan hukuman menurut hukum kolonial Indonesia.

Tetapi pemerintah, penegak hukum lamban tangani kasus. Pelakunya dibiarkan beraktivitas bebas selama berapa minggu. Sedangkan kaum budak yang merasa dirinya atau anak-anaknya dihina terus melancarkan aksi protes secara spontan di seluruh tanah koloni modern. Dalam aksi tersebut sayang, tidak sedikit orang West Papua yang menjadi korban. Ratusan orang ditangkap, disiksa, dihukum dan ditembak mati oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.

Data Korban Jiwa

omisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada 31 orang meninggal dunia dan 43 lainnya masih dirawat di rumah sakit akibat kericuhan di Papua. Data ini berdasarkan data yang ditemukan oleh Komnas HAM di lapangan. Jumlah ini sudah diakses oleh media masa dan semua pihak terkait. Tapi korban unjuk protes rasis lain belum terdata baik.

“Korban sampai Minggu sudah 31 korban tewas. Ini tragedi kemanusiaan menyasar kemanusiaan dan kami tidak mau ungkap background rasnya dari mana saja. Total korban 31,” kata Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam, di Kantor Komnas HAM, di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin (30/9).

Sementara itu Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menambahkan, selain mencatat korban, pihaknya juga melakukan pendataan terkait pengungsi dari konflik tersebut. Tetapi pengungsi, khusus orang West Papua, sampai hari ini belum terkontrol baik. Sejumlah orang teroecaya katakan bahwa aparat masih mengincar sejumlah aktivis, mahasiswa dan masyarakat sipil asal pribumi West Papua.

Baca juga di https://m.merdeka.com/peristiwa/komnas-ham-31-korban-tewas-dalam-kericuhan-papua-hingga-hari-minggu-29-september.html.

Wajah Diskriminasi Rasial di Pengadilan Kolonial

Akibatnya, hingga saat ini orang yang melarikan diri ke hutan dan daerah lain belum diketahui baik. Tahan politik rasisme kolonial Indonesia di Jakarta, Ambrosius Mulait dkk baru dibebaskan pada 26 Mei lalu. Tetapi sebanyak 60-an orang lainnya yang ditetapkan tersangka oleh kolonial Indonesia melalui pengadilan negeri di Jayapura, Wamena, Biak, Manokwari, dan Balikpapan masih menjalani proses hukum yang berbelit-belit.

Pada 3 Juni 2020, Bucktar Tabuni, yang tidak tahu apa-apa, bahkan awalnya menolak demonstrasi di Jayapura, ditangkap sewenang-wenang tanpa surat penangkapan di rumah dan dijatuhkan hukum 17 tahun penjara. Irwanus Uropmabin, yang juga ditangkap tanpa surat penangkapan tapi dengan dalih untuk menjadi saksi untuk Alexander Gobay, juga yang ditangkap tanpa surat penangkapan dijatuhkan hukuman.

Hengky Hilapok yang ditangkap pada 11 September 2019 di Sentani tanpa surat penangkapan oleh aparat kepolisian dengan alasan untuk saksi bagi Aleksander Gobay, juga dijatuhkan hukuman tahanan di penjara selama 5 tahun. Nasibnya sama dengan Ferry Kombo, yabg juga awalnya ditangkap tanpa memberikan surat penangkapan di bandara udara Sentani, Jayapura.

Baca Juga:  Wamena Berdarah Sulit Dilupakan

Masa hukuman mereka beda dengan Agus Kossay, dan Steven Itlay yang saat itu hanya menjadi masa aksi dan juga ditangkap tanpa surat penangkapan. JPU menuntut kedua aktivis nasionalis progresif ini dengan rentan masa kurungan selama 15 tahun penjarah. Lebih lanjut silahkan baca di akun resmi Tapol ‘Rasisme’ Papua (Facebook, per Jumat, 5 Juni 2020).

Keputusan JPU ini dinilai cacat hukum. Benar-benar tidak adil di negara hukum sekaliber kolonial Indonesia. Mengapa, lihat saja pelaku rasisme di Surabaya yang mengakibatkan Tapol rasisme kolonial Indonesia terjerat hukum. JPU hanya menjatuhkan hukum pada Tri Susanti 5 bukan dan Samsul Arifin 7 bulan. Sementara pelaku rasisme, anggota TNI yang bicara ‘monyet’ hingga ancam nyawa mahasiswa dalam video yang viral belum diproses hukum hingga saat ini.

Tentu ini bukan urusan lain. Termasuk perihal diskriminasi rasial. Artinya, diskriminasi rasial itu tak hanya berlaku pada fase dimana Soekarno mulai merebut West Papua dengan pendekatan aneksasi. Tetapi setelah bertahun-tahun lamanya, setelah orang West Papua di-Indonesiakan, kolonial Indonesia masih aktif memperlakukan diskriminasi rasial. Tuntutan JPU ini menandakan bahwa kolonial Indonesia benar-benar negara yang penuh dengan noda diskriminasi rasial.

Orang West Papua Tahu Konsekuensi Hukum

Praktek hukum tebang pilih—pilih kasih—tajam ke bawah tumpul ke atas seperti ini bukan perkara bagi orang kulit hitam dan berambut keriting, West Papua. Selama 57 tahun, sejak wilayah koloni dianeksasikan hingga detik hari ini, mereka sangat kebal. Kadangkala memang hati terpukul amat. Karena apapun kasusnya, yang melibatkan orang West Papua, pasti akan berakhir dengan hasil yang kurang memuaskan. Orang West Papua tahu itu. Bahwa bicara keadilan di negara koloni hanya sia-sia.

Sampai kapan pun, selama mereka menjadi budak kolonial Indonesia dan kolonial Indonesia menjadikan kaum pribumi West Papua sebagai budak diatas tanah leluhur mereka, mereka sadar, bahwa diskriminasi rasial akan berjalan secara masif. Mereka tahu, sampai orang West Papua bicara dengan Tuhan, bahkan mendapatkan dukungan dari Tuhan sekalipun, mereka tidak akan pernah mendapat restu dari kolonial Indonesia.

Usia Diskriminasi Rasial

Kolonial Indonesia itu panjang. Seumur hidup orang kulit hitam di dalam bingkai NKRI. Selama itu, orang West Papua selaku budaknya kolonial Indonesia tidak akan pernah mendapat keadilan, kedamaian dan kebebasan. Sungguh pun ada, dalam perspektif filsafat dialektekta historis atau secara spesifik yang menurut Engel, ini berkaitan dengan partai filsafat ideologis. Maka sulit sekali bagi orang West Papua memimpikan untuk menghirup angin segar.

Apalagi diskriminasi rasial kolonial Indonesia itu berakar pada sistem politik aneksasi. Tentu ini mempersulit orang kulit hitam di negara kolonial Indonesia untuk bergerak secara bebas. Sampai kapan pun, sebelum kaum budak proletar itu belum bebas dan belum diakui sebagai bangsa yang punya hak untuk bebas oleh pengurus, selama itu diskriminasi rasial kolonial Indonesia terhap kaum budak di tanah koloni modern akan menjadi hal biasa (laten).

Ingat Pesan Tan Malaka

Tanah Malaka, dalam buku Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog), mengutip pernyataan, Hegel dan Karl Marx. Bahwa selama penguasa kolonial, kapitalis dan imperialis itu masih berkuasa atas kaum budak, selama itu mereka akan menghalalkan segala cara yang baik sampai buruk. Tujuannya, untuk mempertahkan basis ekonomi di samping kekuasaan politik. Solusinya, hanya filsafat materialisme yang bisa menjawab pergumulan kaum budak proletar (Tan Malaka, hal. 59).

Diskriminasi rasial terbagi dalam dua bagian, yakni diskriminasi rasial yang berasal dan mengarah pada dialektika idealistik serta diskriminasi rasial yang berasal dan berujung pada dialektika materialis. Yang pertama ini berdasarkan pada fiskasat ala Imanuel Kant. Ini lebih mengarah pada mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Sedangkan buang kedua, dialektika materialis memihak penuh pada kaum budak.

Artinya, selama kaum pemodal (kapitalis dan imperialis global) itu merasa nyaman di tanah koloni yang penuh dengan kekayaan alam, mereka akan terus menopang kolonial Indonesia selaku penguasa tunggal, guna memproduksi diskriminasi rasial atas nama apapun untuk mengamankan perusahaan-perusahaannya. Bagi mereka, nayawa orang West Papua maupun keadilan bagi mereka tidak terlalu penting ketimbang mengejar keuntungan.

Selama itu juga, kaum budak pribumi yang sadar, merasa tida puas dan tidak adil, bahkan dihina serta dikhianati akan menjalankan perjuangan, pergerakan dan perlawanan. Barangkali perjuangan ideologis dan perlawanan nasionalis tak perlu diragukan. Karena ini sangat eksis meski nampak ada perpecahan dalam sekte. Sayangnya, gerakan anti-rasisme kolonial Indonesia harus punya payung khusus untuk lawan, seperti Martin Luther King dkk melawan segregasi ras dalam komunitas sosial yang terorganisir baik.

Diskriminasi Rasial Menambah Nasionalisme

Tak perlulah ragu. Diskriminasi rasial itu membakar nasionalisme kaum budak West Papua. Ideologi politik akan menghangatkan semangat lawan ketika juga diskriminasi rasial itu tetap berdinamika di dalam kehidupan sehari-hari. Tentu ini akan semakin menarik perhatian dunia kelak. Karena kedua pihak yang berseberangan hanya berputar di dalam sistem perbudakan politik sekaligus ciri khas perlawanan kaum budak West Papua. Yaitu aneksasi.

Bukan tidak mungkin. Kelak orang kulit hitam di Indonesia akan menginternasionalisasi diskriminasi rasial kolonial Indonesia bersama kasus pelanggaran HAM, kecacatan tindakan plebisit (PEPERA 1969) dan lainnya melalu diplomasi politik yang kian semakin berkembang pesat guna menentukan nasib sendiri. Tentu ini akan membuat kolonial Indonesia sendiri akan malu meski akan berusaha keras untuk menginternalisasi tindak diskriminasi rasial terhadap orang West Papua.

Perlu Ada Penelitian

Paling penting adalah semua pihak terkait, terutama akademi, LSM, peneliti, pemerhati masalah diskriminasi rasial kolonial Indonesia harus pahami. Bahwa diskriminasi rasial kolonial Indonesia itu sangat terstrukturalisasi dalam sistem aneksasi. Sampai kapan akan sering menimbulkan percikan api diskriminasi rasial. Karena itu telah menyatu dengan sistem politik aneksasi. Untuk itu, memang harus ada kajian mendalam seiring dengan meningkatnya diskriminasi rasial kolonial Indonesia pada kaum budak West Papua.

Penulis adalah masyarakat Papua di Jayapura.

You Might Also Like

Papua Merdeka: Jalan Pemberontakan Rakyat yang Sadar

Butuh Kepedulian Bersama Untuk Berantas Buta Aksara Di Kampung Kumuluk, Lanny Jaya

PMKRI, Uskup Mandagi, dan PSN

Daftar Beberapa Operasi Militer yang Terjadi di Papua Dari Tahun 1961 Hingga 2023

Sastra Sebagai Gerakan Politik di Papua

TAGGED:Diskriminasi Rasial di IndonesiaKasus Rasisme di PapuaRasisme di Papua

Gabung Channel Whatsapp

Dapatkan berita terbaru dari Nirmeke.com di Whatsapp kamu
Klik disini untuk bergabung
Dengan anda klik untuk gabung ke channel kami , Anda menyetujui Persyaratan Penggunaan kami dan mengakui praktik data dalam Kebijakan Privasi kami. Anda dapat berhenti mengikuti kapan saja.
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link
Previous Article Begini Respon Mendagri Soal Laporan Komnas HAM Terkait Polemik Lokasi di Welesi
Next Article Kenangkansa
Leave a Comment Leave a Comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Hangat

Mahasiswa Lanny Jaya di Makassar Tolak Pembangunan Pos Militer di Distrik Melagineri
Tanah Papua
19 hours ago
Bupati Yahukimo Hadiri Pelantikan 35 Anggota DPRK Periode 2025–2030
Tanah Papua
19 hours ago
Mahasiswa Papua di Sumatera Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Wamena
Tanah Papua
19 hours ago
Kekurangan Guru dan Dampak Banjir Hambat Pendidikan di Jayawijaya
Pendidikan
3 days ago
Iklan
Ad image

Lihat Topik Berita Lain Dari Nirmeke

Baca juga
Catatan Aktivis Papua

Mengurai Fakta Kasus Penyanderaan Nduga Antara Tahun 1996 dan 2023

2 years ago
Catatan Aktivis Papua

“Kita Cinta Papua”: Slogan Memusnahkan Orang Asli Papua

2 years ago
Catatan Aktivis Papua

Mengupas Pro-Kontra Penempatan Lokasi Kantor Gubernur Papua Pegunungan

2 years ago
Catatan Aktivis PapuaTanah Papua

Gereja Main Tambang?

11 months ago
Catatan Aktivis PapuaKesehatan

Pentingnya Proteksi Dan Konservasi Kali Baliem Dari Pendangkalan Sampah

1 year ago
Catatan Aktivis Papua

25 Tahun Biak Berdarah, Negara Lindungi Pelaku Kejahatan

2 years ago
Catatan Aktivis Papua

Nota Pembelaan (Pleidoi) Victor Yeimo

2 years ago
Catatan Aktivis PapuaTanah Papua

Penolakan Keanggotaan West Papua oleh MSG dan Jalan yang Harus Ditempuh Oleh Rakyat Papua

2 years ago
Catatan Aktivis Papua

Kepahlawanan dan Patriotisme

2 years ago
Previous Next
Adil Untuk PerubahanAdil Untuk Perubahan
Follow US
© 2025 Nirmeke. Design by Team IT Nirmeke. All Rights Reserved.
  • Tentang kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Cyber
  • Iklan
  • Jasa Buat Website
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?