Oleh: Wahyu Eka S (FNKSDA)
Kekerasan demi kekerasan terus bermunculan seiring dengan meningkatnya eskalasi pembangunan fisik sebagai konsekuensi proyek strategis nasional (PSN). Proyek tersebut dan tak lain merupakan bagian dari perluasan geografi kapital atau perluasan titik-titik bisnis yang difasilitasi oleh Negara melalui serangkaian regulasi. Misal UU Cipta Kerja yang terus dipakai meski inkonstitusional, seperti munculnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2021 terkait penyelenggaraan tata ruang, yang terus dipakai untuk melegalisasi praktik perampasan melalui kebijakan tata ruang.
Selain itu juga terdapat Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 109 Tahun 2020 tentang percepatan proyek strategis nasional dan PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang kemudahan pembangunan PSN. Semua aturan tersebut melegitimasi perampasan ruang, baik dalam level konseptual, perencanaan, hingga pembangunannya. Bahkan sampai pada tataran bagaimana menghilangkan hambatan dalam implementasi proyek tersebut.
Melalui UU Nomor 2 tahun 2012, lalu munculnya PP Nomor 19 Tahun 2021 terkait bagaimana penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang setahun berselang direvisi lagi menjadi PP Nomor 39 Tahun 2023, memulai babak baru praktik perampasan tanah dan lebih luasnya ruang hidup untuk kepentingan umum yang tak lain adalah kepentingan investasi bisnis kartel oligarki.
Kekerasan sampai penyingkiran orang dari kampung atau lahan-lahan pertaniannya tidak lebih merupakan praktik dorongan ekonomi—dalam hal ini pasar—yang terus meluaskan jangkauan tempat mengambil bahan mentah, lalu produksi, tenaga kerja hingga pasar konsumsi. Dorongan tersebut direspons oleh Negara dengan menggunakan kekuasaannya melalui skema kebijakan, regulasi dan pengerahan aparatusnya untuk melancarkan praktik dari perampasan hingga penyerapan profit.
Tidak cukup di situ, skema legalisasi praktik perampasan telah mendorong legitimasi kekerasan hingga normalisasi bahwa kepentingan umum (bisnis) menjadi bagian dari pembangunan untuk banyak orang, alias kesejahteraan bersama, tetapi itulah narasi yang dibangun untuk menutupi bagaimana perampasan melalui kekerasan hingga eksklusi dijalankan seolah-olah tidak ada apa-apa.
Kekerasan yang selalu muncul bukan tiba-tiba atau sebuah kebiasaan, tetapi memang terskema dan bagian dari skema pembangunan untuk kepentingan umum.
Aparatus sebagai alat negara menjalankan pengamanan hingga menyakiti orang tidak berdosa adalah bagian dari wujud kekuasaan untuk memaksa orang tunduk, patuh dan menerima setiap ketetapan yang dibuat. Penyingkiran dan peminggiran tidak melihat sejarah lokal, bahkan tidak melihat siapa yang lebih dulu mendiami sebuah wilayah.
Pembangunan PSN melahap semua wilayah adat, nilai, norma bahkan kearifan lokal, tanpa pandang bulu. Jika tidak sesuai skema, pengusiran paksa tidak segan-segan dijalankan. Inilah yang terjadi di Pulau Rempang Batam, Wadas dan proyek-proyek lainnya.
Kekuasaan oligarki yang berbalut dengan pengaruh modal besar dari kelompok bisnis global, telah memunculkan sebuah perampasan dan kekerasan. Setiap tahun kita akan selalu disuguhkan peristiwa-peristiwa ini, tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali menyuarakannya dengan segala keterbatasan sampai ketakutan menjadi korban kekerasan hingga kriminalisasi.
Tentu di sini muncul sebuah pertanyaan sampai kapan kita akan terus-terusan seperti ini? Sampai kapan akan mampu bertahan di tengah gempuran perampasan yang semakin masif? Kita sudah tahu pola dan alurnya, betapa kuasa eksklusi dan eksploitasi melalui perampasan hak telah menjelaskan setidaknya mengapa semuai ini terjadi?
Setiap 5 tahun sekali kita disuguhkan opera sabun mandi pemilihan umum yang tidak signifikan mengubah apapun. Bahkan sejak demokrasi dibuka sejak era Soeharto demokratisasi telah dibelokkan untuk memfasilitasi kekuasaan baru yang tak jauh berbeda dengan Soeharto yakni rakus. Dan, sistem dan struktur kekuasaan sejatinya tidak pernah berubah hanya berganti mekanisme operasionalisasinya.
Lantas, apa yang akan kita lakukan dalam menghadapi perampasan dan kekerasan yang terus berulang ini? Apakah cukup dengan solidaritas? Atau buih utopia idealisme is-me dan is-me yang hanya hadir dalam pergunjingan dan diskusi? Tentu kembali ke masing-masing, mau sekedar menjawab atau mulai memikirkan jalan “lepas” dari cengkraman oligarki. (*)
)* Tulisan ini awalnya dimuat di fnksda.or.id pada 17 September 2023. Dimuat ulang lagi di nirmeke.com untuk tujuan pendidikan dan propaganda di Papua khususnya bagi Masyrakat Adat.