Oleh: Dominggus Elcid Li,
Setelah terbukti bahwa tanah setempat bukan lah tanah kosong, maka posisi pemerintah pusat Indonesia mengganti taktik menjadi persoalan komunikasi/diplomasi. Cara-cara yang dipakai harus lah cara manusiawi, dan bukan dengan cara kekerasan demikian himbauan beberapa lembaga.
Pemerintah Pusat (Indonesia) mengirim Tentara, juga beberapa juru runding. Isi pernyataan ‘juru runding’ menyatakan ‘penggunaan lahan untuk orang asing dari negeri Tiongkok tidak dapat ditunda, duit mereka harus segera mengalir, jangan sampai ada hambatan yang membuat aliran dana itu mampet atau buntu’. Sebab katanya duit orang asing itu akan membawa efek berlipat-lipat (multiplier effect) untuk kesejahteraan masyarakat. Janji itu tidak mudah diterima, tidak semua orang butuh efek yang dimaksud.
Katanya pula, barang siapa yang menyetujui penggusuran akan diberikan secarik kertas tanah hak milik, dan bukan hak guna pakai. Di bagian yang ini tidak begitu jelas, bagaimana tanah pulau yang dalam hitungan abad sudah ditinggali oleh nenek moyang perlu ada sertifikat.
Sejak kapan tanah nenek moyang perlu sertifikat? Apa Pangeran Diponegoro butuh sertifikat dari Anthonie Hendrik Smissaert, residen Belanda yang bertugas di Yogyakara yang mau mengambil alih tanah nenek moyangnya untuk pembangunan?
Meski kalah nama Pangeran Diponegoro diabadikan sebagai nama Kodam dan Universitas di Jawa. Pangeran Diponegoro adalah pahlawan. Tindakan orang asing yang mematok di atas tanah milik nenek moyangnya adalah alasan dibalik berkobarnya Perang Jawa.
Sebelum Proklamasi 1945, bagi orang Pulau Rempang selain Orang Melayu, mereka yang datang adalah orang asing. Nama-nama seperti Joko Widodo, Hadi Cahyanto, Bahlil sebelum tahun 1945 adalah orang asing. Sama asingnya dengan Orang Tiongkok, Orang Belanda, atau Orang Arab.
Jika di tahun 2023, orang-orang yang dahulu disebut sebagai orang asing, datang layaknya tuan yang punya tanah, dan menyatakan akan memberikan sertifikat kepada para pemilik tanah, apakah itu pantas?
Dimana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung adalah pepatah nenek moyang yang menjadi hukum setempat.
Sebagai Presiden, atau pemimpin sebuah Republik yang asal tanahnya dari tanah bekas jajahan Belanda, Presiden Joko Widodo perlu berhati-hati agar tidak salah melangkah. Sebab persoalannya bukan persoalan miskomunikasi seperti yang diyakini, tetapi persoalannya keputusan pemerintah pusat melalui lembaga tanpa kontrol warga setempat lewat ‘badan otorita’. Watak badan otorita cenderung tidak mengakui kedaulatan warga setempat, dan bergerak di atas hukum hingga saat ini tidak dilihat sebagai persoalan.
Pertanyaan sederhana ‘Apa itu penjajahan?’ kepada Bing (salah satu mesin Artificial Intelligence), dijawab mesin ini begini: Penjajahan adalah suatu bentuk dominasi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara atau kelompok terhadap negara atau kelompok lain, dengan cara menguasai wilayah, sumber daya, dan penduduknya. Penjajahan biasanya melibatkan penindasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap penduduk asli yang dijajah.
Anda akan terkejut juga membaca jawaban Bing terhadap pertanyaan ‘Bagaimana melawan penjajahan?’ Sekian jawaban yang ditampilkan kata kuncinya adalah ‘perang’. Jika ini menyangkut soal perang, ini bukan sekedar soal investasi.
Jika soal perang dan kedaulatan ini bukan lagi soal hak presiden yang memerintah yang umurnya 5 tahun Pemilu itu, tetapi soal negara. Jika bicara soal negara umurnya lebih panjang dari periode presiden, menteri, atau walikota. Soal negara adalah soal kesepakatan kita untuk bernaung bersama dalam Republik Indonesia, tanpa ada penjajahan. Meterai republik adalah darah para pejuang.
Omongan pejabat pemerintahan atau siapa pun harus benar. Tidak hanya menghafal teks ekonomi. Teks ekonomi hanya lah salah satu disiplin ilmu, dan bukan hukum.
Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sadhumuk bathuk, sanyari bumi. Ini hukum yang diakui di Nusantara sebelum ada Republik. Pertanyaannya, sudahkah Presiden Joko, Menteri Hadi, Menteri Airlangga, Menteri Bahlil, Menteri Luhut, dan Laksamana Yudo membaca langit yang dimaksud agar tidak dianggap orang asing yang tidak tahu adat?
)* Dominggus Elcid Li, orang seberang, warga Republik Indonesia. Doktor sosiologi, lulusan University of Birmingham.